Sabtu, 31 Januari 2015

Abraham Samad, Ambisi, Dendam dan Karma



Drama syahwat politik Samad, adalah opera politik yang terus berulang diputar. Masih teringat dengan keras dari balik mushollah rumah Anas Urbaningrum, dari jauh nampak rambut plontos Samad, dengan bulu-bulu jenggot yang tumbuh liar di bawah dagunya. Seperti ciri khas Samad biasanya, malam itu ia menggunakan baju koko warna biru, dengan celana bahan menggantung di mata kaki.

Beberapa minggu menjelang penetapan anggota komisioner KPK, Samad menyambangi rumah Anas Urbaingrum di Duren Sawit, tepatnya di kompleks perumahan TNI angkatan laut (AL). Pertemuan itu berlangsung di ruang tamu Anas. Tidak jauh dari rumah joglo, yang selama ini menjadi sekretariat PPI. Samad datang dengan menggunakan taxi Bluebird bernomor polisi B 3942 XU.  

Samad duduk berderetan dengan Anas, dikursi kayu berukiran Jepara. Kaki Samad lurus ke lantai, kedua tangannya dilipat di atas dada. Malam itu samad dan Anas terlibat obrolan serius. Samad memanggil Anas abang. Itu panggilan familiar sesama alumni HMI. Masih terekam kuat, dengan logat Makasar yang kental, Samad berusaha meyakinkan Anas ;

“Bang Anas...kita ini masih sama-sama muda,
perjalanan politik kita masih panjang,
kita harus saling menjaga".

Seperti biasa, Anas yang ramah, hanya melebarkan senyum mendengar kata-kata Samad itu. Anas bahkan beberapa kali menepuk pundak Samad dengan akrab. Alhasil, pada saat pemilihan komisioner KPK, suara partai demokrat, ikut menghantarkan Samad sebagai anggota komisioner KPK. Sebelum pemilihan anggota komisioner KPK itu, Samad bahkan dua kali menyambangi rumah Anas yang waktu itu sebagai ketua Fraksi Partai Demokrat.

Di tengah perjalanannya sebagai ketua KPK, nama Samad terkerek ke publik, ketika isu KPK vs Polri merebak, dengan ditersangkakannya perwira polisi Joko Susilo, yang membuat hubungan KPK dan Polri kembali mendidih. Kobaran dan akumulasi dendamisme dua institusi penegak hukum itu berulang dan memuncak.

Samad dengan cepat mendapat tempat di hati publik. Heroismenya terangkat. Popularitasnya terdongkrak. Di beberapa mass media dan lembaga survei berkelas, mengatrol elektabilitas dan peluangnya sebagai wakil presiden pendamping Jokowi. Berani melawan institusi polri yang sudah kadung buruk dianggap public, menjadi entry point Samad.

Tapi Samad sangat sadar, di belakangnya tak sedikit politisi muda potensial yang punya peluang. Salah satunya Anas, dan ini diperhitung betul Samad. Anas masih muda, ketua Umum Partai besar (partai demokrat), mantan ketua umum PB HMI, menantu kiyai NU tersohor di Jawa Tengah. Anas tidak saja punya basis politik, tapi juga basis sosial yang luas. Dan satu lagi, dia punya kharisma yang kuat sebagai politisi Jawa tulen. Pergaulannya luas, lintas etnik dan agama.

Lagi-lagi potensi Anas ini diperhitungkan Samad. Sebagai penegak hukum berinsting politik, naluri membunuh Samad sudah terpelihara, ketika drama pembocoran Sprindik itu terkuak ke publik. Samad harus membunuh Anas, dalam rangka memuluskan lenggangnya ke RI 02. Maka pintu masuk yang tepat adalah, mentersangkakan Anas, dengan pasal gratifikasi. Drama pembunuhan Anas itu dimulai. Jumat yang muliah, dijadikan keramat dan menyeramkan bagi Samad.

KPK dijadikan Samad sebagai mesin memproduksi opini dan fitnah. Demi syahwat kekuasaannya itu, Samad mencari justifikasi publik. Media yang latah dijadikan industri opini, sekaligus penjara paling kejam dan mengekang Anas di ruang publik.

Ia sudah salah sebelum hakim menjatuhkan palu sidang. Ia ditersangkakan dengan alat bukti imajiner dan tidak transparan. Di persidangan, kezaliman itu terungkap telanjang.

± 95% saksi yang dihadirkan JPU, dibawah sumpah menganulir semua tuduhan yang disangkakan ke Anas. Tapi apa boleh buat, Anas kadung salah di mata publik, oleh virus opini yang ditebar Samad dengan agen-agen media sebagai corongnya.

Membunuh masa depan politik Anas bagi Samad waktu itu sangat mudah, karena dibantu oleh rivalitas Anas dengan Cikeas. Rezim oligarki, yang mengangkangi demokrasi diseputaran ipar, anak kandung serta orang-orang terdekat. Dan Anas pun terbunuh, Samad puas! Mimpinya di jam 12 siang sebagai calon wakil presiden Jokowi ter-nganga lebar.  

Setelah Anas jadi tersangka, Samad bermanuver kencang. Dengan modal dagangan elektabilitas, dan representasi Indonesia bagian Timur itu, di tenteng Samad kemana-mana. Samad pantang mundur ! Sebagai orang Bugis-Makasar, ia memegang filosofi “Badik”. Filosofi ini bermakna, sekali badik dicabut, pantang masuk ke sarung kembali sebelum persoalan selesai. Samad terus mengejar elit PDIP untuk tujuannya itu.

Enam (6) kali bertemu elit PDIP di parodi rumah kaca itu, sebenarnya separuh dari sekian usaha Samad bertemu elit PDIP, untuk memastikan dirinya sebagai pendamping Jokowi. Bisa juga, Transaksi kasus Emir Muis, adalah salah satu diantara sekian alat barter politik Samad dengan PDIP.

Dan bisa juga, Samad sudah memiliki alat barter politik di Partai Demokrat dengan mentersangkakan Anas. Dengan maksud, melalui partai demokrat Samad memiliki instrument bargaining untuk mendudukkan dirinya dengan Jokowi ( capres dari PDI-P). Hadiah terbaik Samad dengan berhasil menjebloskan Anas adalah, menggunakan perahu Demokrat melamar Jokowi. Samad hanya menunggu waktu yang tepat meminta imbal itu ke juragan partai demokrat.

Namun apa lacur, sebelum hadiah itu datang, Tuhan menyampahkan Samad dengan begitu memalukan. Melalui orang dekat Mega bernama Budi Gunawan (BG), mimpi jam 12 siang Samad berhenti seketika. Samad terbakar, galau, stress. Ia membungkus dalam-dalam bara dendam itu pada BG. Harga dirinya terinjak-injak. Sebagai orang Bugis Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya (Siri' dalam prinsip hidup orang Bugis-Maksar diartikan sebagai rasa malu dan harga diri).

Mungkin wujud stress Samad itu terungkap melalui foto-foto syurnya dengan Putri Indonesia yang menjadi duta KPK; yang beberapa waktu lalu terungkap ke publik. Bersama putri Idonesia itu, Samad menumpahkan gundahnya. Ia kehilangan arah terkait tugasnya di KPK. Coba perhatikan, pasca gagalnya Samad sebagai Cawapres 2014. Tak ada satu pun kasus-kasus korupsi kelas kakap yang diungkapnya. Tak ada lagi alat barter politik ! Sungguh jijik dan memalukan !

Tak sampai disitu, hingga pasca pilres 2014, Samad masih berharap masuk di daftar kabinet Jokowi sebagai Jaksa Agung. Tapi lagi-lagi pembocor sprindik ini terpental. Ia dotolak elit PDIP terutama BG sebagai salah satu Inner Circle Mega. Lalu Samad mengubur mimpinya dalam-dalam. Ia menyimpan kusumat pada perwira polisi berkumis tebal itu. Hingga datanglah waktu itu. Waktu dimana Samad menumpahkan dendamnya. Waktunya Samad mencabut Badik !

Waktu dimana Jokowi diterpa dilema politik yang berat ketika Mega merekomendasikan BG sebagai calon Kapolri. Seperti jajaran kabinet lainnya, Jokowi menyerahkan BG ke KPK agar ditelisik harta kekayaannya. Hal yang sama juga dilakukan Jokowi pada jajaran kabinet lainnya. Apa lacur, Waktu yang ditunggu Samad itu tiba. Orang nomor wahid yang paling ia dendami itu ada dalam gengamannya. Tanpa pikir panjang calon tunggal Kapolri itu langsung ditetapkan tersangka, dengan dugaan memiliki rekening gemuk yang mencurigakan.

Sontak status hukum BG itu, menghangatkan atmosfer politik nasional. Episode lanjut drama KPK vs Polri pun diputar ulang. Samad kembali ingin meraup insentif pencitraan sebagai simbol yang tertindas. Tapi apa lacur, bau anyir drama politik berkelamin hukum ini terungkap.

Akal bulus bajingan-bajingan bertopeng di balik ekspektasi publik terhadap KPK ini terungkap. Bambang Wijayanto diringkus. Semua kebobrokannya sebagai otak di balik saksi palsu sengketa pilkada Waringin Barat dimuntahkan ulang ke ruang publik. Geliat Samad berburu kekuasaan dengan elit PDIP ditelanjangi ke publik.   

Karena ulah Samad itu, perspektif publik yang dulunya tunggal pada KPK terbelah dan terkotak-kotak. Jokowi yang polos dan lugu, terjebak dalam drama keculasan dua institusi ini. Mass media partisan kembali memutar opini. Samad, adalah tokoh antagonis di balik semua drama dan kekisruhan ini. Ia selalu menggunakan momentum politik, untuk melakonkan drama hukum “pemberantasan korupsi”. Kita semua sepakat, tak ada yang interupsi, bahwa korupsi harus diberantas, dimusnahkan dari republik ini. Tak ada pilihan. Ini hitam putih !

Kini Samad menelan semuanya. Ia terjebak diantara ambisi, dendam dan karma. Keluh kesah Anas di balik jeruji itu bertenaga, punya makna dan kekuatan. Kebenaran punya jalannya sendiri. Karma pun akan mencari jalanya, siapa yang zalim, ia akan dilumat karma. Inilah hukum keseimbangan. Ada baiknya kita merenungkan firman Allah berikut :  “Barang siapa yang berbuat keburukan sebesar zarra (debu), akan diperlihatkan ganjaran keburukannya”. (QS : Al Zalzalah : 8). Inilah hukum keseimbangan hakiki. Merdeka ! #Save KPK   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar