Minggu, 20 April 2014

Apa Agama Kartini? Menanggapi Imam Brotoseno

Apa Agama Kartini? Menanggapi Imam Brotoseno

Pagi buta, saya terbakar oleh tulisan blog Imam Brotoseno di http://blog.imanbrotoseno.com/ yang di-share oleh teman saya Raynold Darmawan : https://www.facebook.com/raynold.darmawan?fref=ts. Tulisannya mengulik-ulik agama Kartini—Islam atau Kristen?

Memang keyakinan itu bukan wilayah haram yang tak perlu dijejali. Tapi menjejalinya dengan pikiran yang terlampau parokial, justru tak elok. Membikin kartini terkotak-kotak. Bukan baju kotak-kotak yang angker dan penuh berkat itu. Maksudnya terkotak dalam kotak sempit keyakinan. Saya lebih suka memakai; Ilmu keyakinan. Lebih pas dan rendah kadar konfliknya.


Ini penggelan tulisan mas Imam yang bagi saya tidak mencerahkan :

Pencarian tentang Agama dari Kartini tak pernah berhenti. Ia merasa Islam tidak pernah memberi jawaban. Sejak lama ia buta terhadap Islam, agama yang secara tradisional dipeluknya. Dalam suratnya ke Stella Zeehandelaar ( 18 Agustus 1900 ). Kartini merindukan tafsir Al Qur’an bisa dipelajari. Ia mengecam tentang metode pengajaran al Qur’an, tapi tak ada seorangpun yang mengerti , karena memakai bahasa arab.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam buku Th Sumartana, ‘ Tuhan dan Agama dalam pergulatan batin Kartini ‘ – Tahun 1993. Ia menggambarkan kedekatan Kartini dengan ajaran Kristen. Terutama pengaruh sang guru, Ny Van Kol. Dari nyonya ini Kartini belajar membaca bible, kitab suci Kristen. Ia mengerti sebagian prinsip teologis ajaran Kristen. Ia menggambarkan kedekatannya dengan ayahnya sendiri – walau dalam beberapa hal mereka tidak sependapat – sebagai kedeketakannya dengan Tuhannya. Sebab itu ia menyambut baik, ketika Ny Van Kol memperkenalkan Tuhan sebagai Bapa.
------------------------------------------------------------------

Mas Imam, anda memposisikan Kartini pada suatu justifikasi referensi, lalu anda mengeneralisir “Islam” sebagai agama yang ditolak Kartini. Saya kurang paham, seperti apa Social background si penulis Sumartana, sehingga anda dengan latah menggunakannya dan menempatkan Kartini sedemikian kerdil---begitukah?

Anda seharusnya menulis dengan jujur, Kartini dengan standar metodologi pengetahuan di zaman itu; dengan seluruh produk budaya dan struktur masyarakatnya, yang membentuk watak keagamaan. Lalu dengan itu, anda tak perlu memaksa_simpulkan sebagai “agama yang diterima; atau ditolak” Kartini.Entah itu Islam atau Kristen.

Saya ingin menawarkan sesuatu pada anda mas Imam, bahwa bukankah setting sosial suatu masyarakat dengan segala produk kulturalnya, sangat berpengaruh pada konstruksi pengetahuan seseorang? Termasuk pengetahuan agama Kartini?

Disitukah posisi Kartini yang anda maksudkan? Dan bukankah Kartini kala itu hidup di tengah-tengah kekentalan feodalisme Jawa? Dimana posisi agama-agama di tengah-tengah dominasi feodalisme itu? Anda agak hati-hati menjelaskan ini.

Saya juga bingung dengan Tulisan anda yang begitu memaksa Kartini itu Islam atau Kristen. Sebegitu pentingkah sekte keimanan Kartini bagi anda? Untuk apa? Apa manfaatnya?

Di sinilah letak kacaunya agama, bila tak dipahami dengan epistemologi yang baik. Justru anda tidak sedang menterjemahkan Kartini dan keimanan pada dimensi kedamaian dan cinta kasih. Yang terjadi, anda itu memenjarakan kartini dengan faksi keyakinan—-yang justru menimbulkan klaim yang tak ada untungnya bagi Indonesia.

Tafsiran anda tak cocok untuk Indonesia hari ini, dimana budaya dan Keindonesiaan telah menyatukan seluruh keyakinan. Mana yang penting, Perjuangan Kartini atau agama Kartini?

Tulisan anda ini; adalah sebuah politik keyakinan yang tak pantas menggunakan agama sebagai alat Provokasi. Sudahlah, Kartini sentris itu juga terlalu Jawa- Sentris. Toh ada juga Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien dll. Kenapa Kartini saja yang disakralkan, apa karena Dia (Kartini) orang Jawa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar