Di deklrasi pemilu damai, Jokowi nampak kaku. Ia berdiri
tercancang. Gestur wajahnya tegang; pucat pasih. Tangannya dikepal tanpa memberi
nafas pada kesepuluh jarinya. Tatapannya kosong ke depan. Beberapa kali ia
(Jokowi) kelihatan terengah-engah; sesak. Dadanya membusung; menimbun nafas
yang agak sesak akibat tegang. Dari layar kaca terlihat jelas Jokowi memendam
sesuatu. Entah beban nafas atau beban politik? Diakhir pidatonya yang terputus tiba-tiba itu,
Jokowi langsung kembali ke tempat duduk, dan meneguk air putih. Ia baru
terlihat sedikit mereda.
Disaat puncak deklarasi, tangan Jokowi masih saja terkepal, namun Prabowo yang mengenjut tangannya tanda persahabatan keduanya. Sikap bersahabat yang ditawarkan Prabowo, mengesankan pada publik, bahwa ia yang lebih matang sebagai pemimpin.
Ketika
pasca deklarasi pemilu damai, keduanya (Prabowo/Jokowi) diberi kesempatan
memberikan sambutan. Sambutan pertama oleh prabowo. Kata-katanya berisi, mengalir
dan penuh nuansa persahabatan. Gerak tangan dan tubuhnya harmoni, memperkuat
kata-kata yang disampaikan. Setiap ucapan kata-kata Prabowo meneguhkan
keyakinan.
Sebagai
wujud persahabatan itu, Prabowo bahkan memanggil Jokowi dengan sapaan “sahabat”
hingga beberapa kali. Beda dengan Jokowi yang sama sekali tak menyebut Prabowo
dengan sapaan sahabat dalam sambutannya.
Jokowi
di-intro sambutannya, tertangkap mengalami kesulitan merangkai kata; ia gagap.
Apalagi substansi sambutannya, tak mentransformasikan apa-apa selain pemilu dan
ketakutan yang ditekankan. Sambutan Jokowi kering-kerontang artikulasi
persahabatan. JK yang berdiri di sampingnya, pun ikut tegang. Air muka JK
nampak terbaca khawatir, bila Jokowi tak memberikan sajian retorika yang baik
pada publik, karena di sinilah momentum penting Jokowi meyakinkan publik, bahwa
ia tak seperti yang dikira.
Sebagai
politisi senior dan pernah mengampu Wapres, JK paham, bahwa politik bahasa itu perlu dalam seni
mempengaruhi publik. Meski JK pun tipologi yang tak terstruktur dalam setiap
pidatonya. Seorang pemimpin perlu politik retorika yang berisi, karena
komunikasi yang baik ke hadapan publik, kelak membuat publik lebih muda
memahami apa yang ingin disampaikan seorang pemimpin.
Dari
awal hingga akhir pidatonya, Jokowi tak bisa tenggelam dalam emosi
persahabatan. Ia terpaku pada pemilu an
sich. Akhirnya Jokowi kehabisan kata-kata. Tanpa isyarat, ia terpaku dan
selesai tiba-tiba. “terima kasih, wassalamualaikum wr. wb” JK yang disampingnya
menoleh heran. Ternyata sebatas itu Jokowi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar