Selasa, 03 Juni 2014

Ketika Jokowi Gagap dan Kehabisan Kata-kata


Di deklrasi pemilu damai, Jokowi nampak kaku. Ia berdiri tercancang. Gestur wajahnya tegang; pucat pasih. Tangannya dikepal tanpa memberi nafas pada kesepuluh jarinya. Tatapannya kosong ke depan. Beberapa kali ia (Jokowi) kelihatan terengah-engah; sesak. Dadanya membusung; menimbun nafas yang agak sesak akibat tegang. Dari layar kaca terlihat jelas Jokowi memendam sesuatu. Entah beban nafas atau beban politik?  Diakhir pidatonya yang terputus tiba-tiba itu, Jokowi langsung kembali ke tempat duduk, dan meneguk air putih. Ia baru terlihat sedikit mereda.


Disaat puncak deklarasi, tangan Jokowi masih saja terkepal, namun Prabowo yang mengenjut tangannya tanda persahabatan keduanya.  Sikap bersahabat yang ditawarkan Prabowo, mengesankan pada publik, bahwa ia yang lebih matang sebagai pemimpin.

Ketika pasca deklarasi pemilu damai, keduanya (Prabowo/Jokowi) diberi kesempatan memberikan sambutan. Sambutan pertama oleh prabowo. Kata-katanya berisi, mengalir dan penuh nuansa persahabatan. Gerak tangan dan tubuhnya harmoni, memperkuat kata-kata yang disampaikan. Setiap ucapan kata-kata Prabowo meneguhkan keyakinan.

Sebagai wujud persahabatan itu, Prabowo bahkan memanggil Jokowi dengan sapaan “sahabat” hingga beberapa kali. Beda dengan Jokowi yang sama sekali tak menyebut Prabowo dengan sapaan sahabat dalam sambutannya. 

Jokowi di-intro sambutannya, tertangkap mengalami kesulitan merangkai kata; ia gagap. Apalagi substansi sambutannya, tak mentransformasikan apa-apa selain pemilu dan ketakutan yang ditekankan. Sambutan Jokowi kering-kerontang artikulasi persahabatan. JK yang berdiri di sampingnya, pun ikut tegang. Air muka JK nampak terbaca khawatir, bila Jokowi tak memberikan sajian retorika yang baik pada publik, karena di sinilah momentum penting Jokowi meyakinkan publik, bahwa ia tak seperti yang dikira.  

Sebagai politisi senior dan pernah mengampu Wapres, JK paham,  bahwa politik bahasa itu perlu dalam seni mempengaruhi publik. Meski JK pun tipologi yang tak terstruktur dalam setiap pidatonya. Seorang pemimpin perlu politik retorika yang berisi, karena komunikasi yang baik ke hadapan publik, kelak membuat publik lebih muda memahami apa yang ingin disampaikan seorang pemimpin.

Dari awal hingga akhir pidatonya, Jokowi tak bisa tenggelam dalam emosi persahabatan. Ia terpaku pada pemilu an sich. Akhirnya Jokowi kehabisan kata-kata. Tanpa isyarat, ia terpaku dan selesai tiba-tiba. “terima kasih, wassalamualaikum wr. wb” JK yang disampingnya menoleh heran. Ternyata sebatas itu Jokowi. []




Tidak ada komentar:

Posting Komentar