Jadi judulnya buka kembali kitab NDP yang tercecer di ruang baca. Hampir
5-6 tahun tak pernah lirik NDP. Ini kodifikasi pikiran alm Cak Nur yang
dijadikan patung sejarah seumur-umur HMI.
Tak terjamah, tak pernah dikritisi. Tak pernah dinakali. Di tahun 2004, sempat dicoba_rekonsepsi, tapi saklak dan latah.
Alih-alih merekonstruksi, yang terjadi malah tamba angker itu NDP. Saya
termasuk pelaku sejarah yang hadir di Mataram. Waktu itu, terkait dasar-dasar
keyakinan, saya usulkan diperluas ruang konsepnya, jadi tafsirnya tak skriptural_teologis
melulu. Tapi dijadikan nilai yang tetap hidup dan menyejarah.
Nilai yang bisa menyerap kosmopolitanisme ketuhanan. Tuhan secara
eksistensi adalah zat Tunggal. Tapi mendekati dan membaca nilainya tak perlu tunggal.
Maka dasar-dasar kepercayaan pada Bab I NDP di Makasar beda dengan HMI Cabang Kupang-NTT dan seterusnya.Di Makasar masyarakatnya relatif homogen dengan penduduk mayoritas muslim. Otomatis konsepsi ketuhanan di sana (Makasar) terbangun dengan sosio_hermeneutik masyarakat Makasar.
Inti doktrin ketuhanan tak bisa dibaca dengan persepsi tunggal (Islam an sich), tanpa harus menoleril elemen
sosial lain. Sementara di Kupang, dengan masyarakat relatif plural dengan
mayoritas Kristen dan Katolik, maka daya baca ketuhanan harus dikreasi menjadi
lebih inklusif dan lebih kultural.
Penjelasan ketuhanan di NTT sejatinya dimulai dari aspek-aspek budaya.
Karena pada aspek ini (budaya) injeksi pemahaman pada Tuhan lebih diterima
dengan daya ekspansi yang lebih efektif.
Toh agama (Islam) dalam kategori tertentu juga merupakan bagian produk
budaya. Tak cuma muamalah saja, aspek teologi sekalipun konstruksi dari
aspek-aspek magis dan transenden budaya.
Maka Bab I NPD itu jangan dipaksaterjemahkan dengan paroki-paroki Islam serba
ketat dan rigid. Apa lagi Bab I NDP
ini diperjuangkan dengan cara-cara kekerasan.
Dua Kongres HMI (di Makasar dan Palembang), pembahasan NDP selalu berakhir
dengan kekerasan dan darah. Padahal kita membicarakan nilai yang softly, tapi memperjuangkannya dengan
cara-cara anarkis.
Saya memang selalu melewati aspek-aspek rigid ketuhanan yang ada di Bab I
NDP. Bagi saya, prospek ketuhanan itu tak skolastik an sich. Prospek ketuhanan itu 15% pada aspek asoteris, dan 85% pada
aspek eksetoris.
Jadi kalau ketuhanan yang kering prospek sosial, maka sama
saja tak bertuhan. Kedua aspek ini (asoteris dan eksoteris) dimensi dua aspek
ketuhanan yang saling jalin-jemalin atau berkelindan.
Otentisitas keyakinan itu terserap dengan metode epistemik yang luwes dan
licin. Bahkan bila perlu harus lebih liberal. Karena liberalisasi teks NPD akan
melahirkan pikiran-pikiran yang jauh lebih otentik.
Bukan doktrinasi. Sejak
pembahasan bab I NDP dari kongres ke kongres HMI, terasa seolah-olah ada upaya
doktrinasi dari satu zona pemahaman pada ke zona pemahaman lainnya.
Saya lebih sepakat, membaca NDP itu dengan model diminution and cultivation. Atau nilai-nilai yang sudah ultimate dibaca dengan model cultivation.
Atau pengembangan secara terus menerus tanpa harus berhenti dan
terperangkap pada satu paroki/mazhab. Beberapa argument yang menyebutkan bahwa
NDP tak punya world view, ini saya
kurang sepakat.
Membawa teks nilai HMI pada world view, sama saja menjerumuskan HMI pada
jurang sekterianisme radikal. World view atau pandangan dunia itu selalu
membatasi diri pada nilai dan kelompok.
Sementara HMI dan pandangan ke keIslaman dan kebangsaan tak mengenal
teritori dalam aspek apapun. Saya bahkan berharap, suatu waktu HMI bisa out of bounds dalam aspek nilai apapun.
Jika tidak, HMI akan tetap kerdil dengan ajaran-ajaran ketuhanannya. NPD
bukanlah sebuah credo. NDP hanyalah
alat pengetahuan untuk mengkristalisasi ajaran-ajaran langit menjadi lebih
kosmik. []
B e r s a m b u n g __________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar