Katanya infrastruktur Jakarta
semasa Jokowi pimpin DKI mengalami akselerasi, tapi nyatanya tak berdampak pada
sektor riil dan grass roots level di DKI. Buktinya, kemiskinan DKI Jakarta dari
2012 ke 2013 terus meningkat.
Artinya sektor riil tdk berdampak nyata pada kehidupan arus bawah. Efek getar pembangunan infrastruktur tak mampu menghidupkan ekonomi grass roots. Apa ukuran keberhasilan pembangunan, bila tak mampu menekan tingkat kemiskinan. Rasanya tak mungkin dengan prestasi begini Jokowi pimpin Indonesia !
Menjadi Gubernur
DKI Jakarta, sepertinya sebagai batu loncatan Jokowi sebagai Presiden RI. Sejak
2012 memimpin Jakarta, kita sulit menemukan, apa sesungguhnya fokus pembangunan
Jokowi. Hemat saya, prospek pembangunan akan terlihat nyata, bila memiliki
korelasi dengan peningkatan kesejahteraan warga DKI. Bukan malah tambah miskin.
Intinya,
prospek pembangunan Jakarta oleh Jokowi harus berbanding lurus secara
konstruktif terhadap pertumbuhan aktivitas ekonomi "wong cilik." Bila
kondisi tidak tercipta, maka kehadiran Jokowi seperti melepaskan garam di laut.
Nol kaboak (bahasa Kupang = Nol Besar)
Ukurannya
sederhana, bila warga Jakarta sejahtera secara terukur, maka persentase angka
kemiskinan dalam satu tahun terakhir (2012-2013) menurun drastis. Lapangan
kerja terbuka lebar sesuai pertumbuhan roda ekonomi. Disinilah variabel penting
kesuksesan Jokowi. Disni juga inti prospek pembangunan "ala Jokowi."
Jangan cuma
pencapresan Jokowi saja yang berefek nyata pada dinamika politik nasional, tapi
Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi pun harus berefek nyata pada kesejahteraan
warganya. Paling tidak, setiap 1% sumbangsih kinerja Jokowi-Ahok, harus berefek
pada peningkatan kesejahteraan warga DKI secara nyata. Hasilnya?
Dan itu
dilihat dari terciptanya lapangan kerja dan penurunan tingkat kemiskinan. Namun
bila Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi persentase angka kemiskinan terus
meingkat tajam, maka kita patut bertanya, apa efek kinerja Jokowi selama
menjadi gubernur DKI? Mari kita mengukur kinerja Jokowi dengan variabel di atas
!
Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin di
Ibu Kota meningkat. Data yang dikeluarkan pada Januari 2014, tercatat jumlah
penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2013 mencapai 375.700 orang,
atau sebanyak 3,72 persen dari total jumlah penduduk DKI Jakarta yang hampir
mencapai 10 juta jiwa.
Bila
dibandingkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2013 yang mencapai 354.190 orang
atau sekitar 3,55 persen dari total jumlah penduduk DKI Jakarta, maka jumlah
penduduk miskin di Jakarta meningkat 21.510 orang atau meningkat 0,17 poin.
Jika
dibandingkan dengan September 2012 dengan jumlah penduduk miskin sebesar
366.770 orang atau 3,7 persen dari total penduduk Jakarta, jumlah penduduk
miskin meningkat sebanyak 8.930 orang atau meningkat 0,02 poin.
Garis
Kemiskinan (GK) di September 2013 mencapai Rp 434.322 per kapita per bulan.
Jumlah ini lebih tinggi dari GK pada Maret 2013 yang mencapai Rp 407.437 per
kapita per bulan. Juga lebih tinggi dari GK September 2012 yang hanya mencapai
Rp 392.571 per kapita per bulanPeningkatan jumlah penduduk miskin dipengaruhi
dengan semakin tingginya garis kemiskinan di Jakarta. Penduduk miskin adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah
garis kemiskinan.
Dengan data
di atas, maka kemiskinan DKI Jakarta yang meningkat itu, dapat kita
deskripsikan sebagai keterputusan (missing link) pembangunan dengan tujuannya.
Hemat saya, progresifitas pembangunan itu prospeknya adalah pertumbuhan
kesejahteraan. Bukan pencitraan. Blusukan kesana-kemari, yang nyatanya cuma
selebrasi opini saja. Bukankah begitu?
Apa yang
dikerjakan Jokowi?
Dengan data
BPS di atas, kita bisa mengukur kemampuan Jokowi memahami inti soal pembangunan
khususnya di wilayah DKI Jakarta. Yang dikerjakan cuma hal-hal teknis yang
vibrasi opininya menghasilkan insentif pencitraan saja. Efeknya?
Akibatnya,
“Jokowi efek” yang kita harapkan cuma menghasilkan efek pencitraan. Bukan efek
prospek kemanusiaan warga Jakarta.Di tengah soal pelik DKI ini (kemiskinan dan
pengangguran), Jokowi malah lepas tangan, demi mengejar ambisi kekuasaan.
Ya…apa namanya
kalau bukan begitu. Kehadirannya hanya mangaduk-ngaduk birokrasi Jakarta, tapi
efek universalnya tak terasa ke grass-roots level. Sekali lagi ini cuma kerja
pencitraan, tapi rendah kualitas.
Jika kita
sepakat bahwa kemiskinan adalah beban sosial, maka kemiskinan Jakarta saat ini
(sesuai data BPS), adalah beban yang diberikan Jokowi kepada rakyat Jakarta.
Mestinya, dengan semua janji manisnya dulu, ia harus bertanggungjawab terhadap
soal kemiskinan dan pengangguran di DKI selama lima tahun ke depan.
Bukan pergi
dan lari dari tanggung jawab. Dengan begini, Jokowi bukanlah seorang kasatria.
Ia hanya sosok oportunis, selalu mencari peluang, apalagi peluang diberikan.
Jakarta
sebagai cermin besar wajah Indonesia hari ini kian di titik nadir kehancuran. Figur
yang diharapkan memberi solusi, malah menjadi sumber masalah.
Ya..mau tak
mau, setuju tak setuju, Jokowi setelah dicapreskan, sudah menjadi masalah baru
bagi Jakarta. Masalah itu adalah desain pikirannya tak lagi fokus mengurus
Jakarta, tapi lebih mengurus pencapresannya.
Padahal, di
belakangnya problem kemanusiaan (kemiskinan dan pengangguran) Jakarta menumpuk
dan pelik. Warga Jakarta seperti anak ayam yang kehilangan induk. Ditimpali
berbagai persoalan sosial.. eh kini ditinggal pergi pemimpinnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar