Jumat, 13 Juni 2014

Kemiskinan Jakarta Terkerek di Tangan Jokowi


Kemiskinan Jakarta Terkerek di Tangan Jokowi
Katanya infrastruktur Jakarta semasa Jokowi pimpin DKI mengalami akselerasi, tapi nyatanya tak berdampak pada sektor riil dan grass roots level di DKI. Buktinya, kemiskinan DKI Jakarta dari 2012 ke 2013 terus meningkat.


Artinya sektor riil tdk berdampak nyata pada kehidupan arus bawah. Efek getar pembangunan infrastruktur tak mampu menghidupkan ekonomi grass roots. Apa ukuran keberhasilan pembangunan, bila tak mampu menekan tingkat kemiskinan. Rasanya tak mungkin dengan prestasi begini Jokowi pimpin Indonesia !

Menjadi Gubernur DKI Jakarta, sepertinya sebagai batu loncatan Jokowi sebagai Presiden RI. Sejak 2012 memimpin Jakarta, kita sulit menemukan, apa sesungguhnya fokus pembangunan Jokowi. Hemat saya, prospek pembangunan akan terlihat nyata, bila memiliki korelasi dengan peningkatan kesejahteraan warga DKI. Bukan malah tambah miskin.

Intinya, prospek pembangunan Jakarta oleh Jokowi harus berbanding lurus secara konstruktif terhadap pertumbuhan aktivitas ekonomi "wong cilik." Bila kondisi tidak tercipta, maka kehadiran Jokowi seperti melepaskan garam di laut. Nol kaboak (bahasa Kupang = Nol Besar)
Ukurannya sederhana, bila warga Jakarta sejahtera secara terukur, maka persentase angka kemiskinan dalam satu tahun terakhir (2012-2013) menurun drastis. Lapangan kerja terbuka lebar sesuai pertumbuhan roda ekonomi. Disinilah variabel penting kesuksesan Jokowi. Disni juga inti prospek pembangunan "ala Jokowi."

Jangan cuma pencapresan Jokowi saja yang berefek nyata pada dinamika politik nasional, tapi Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi pun harus berefek nyata pada kesejahteraan warganya. Paling tidak, setiap 1% sumbangsih kinerja Jokowi-Ahok, harus berefek pada peningkatan kesejahteraan warga DKI secara nyata. Hasilnya?

Dan itu dilihat dari terciptanya lapangan kerja dan penurunan tingkat kemiskinan. Namun bila Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi persentase angka kemiskinan terus meingkat tajam, maka kita patut bertanya, apa efek kinerja Jokowi selama menjadi gubernur DKI? Mari kita mengukur kinerja Jokowi dengan variabel di atas !

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin di Ibu Kota meningkat. Data yang dikeluarkan pada Januari 2014, tercatat jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2013 mencapai 375.700 orang, atau sebanyak 3,72 persen dari total jumlah penduduk DKI Jakarta yang hampir mencapai 10 juta jiwa.

Bila dibandingkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2013 yang mencapai 354.190 orang atau sekitar 3,55 persen dari total jumlah penduduk DKI Jakarta, maka jumlah penduduk miskin di Jakarta meningkat 21.510 orang atau meningkat 0,17 poin.

Jika dibandingkan dengan September 2012 dengan jumlah penduduk miskin sebesar 366.770 orang atau 3,7 persen dari total penduduk Jakarta, jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak 8.930 orang atau meningkat 0,02 poin.

Garis Kemiskinan (GK) di September 2013 mencapai Rp 434.322 per kapita per bulan. Jumlah ini lebih tinggi dari GK pada Maret 2013 yang mencapai Rp 407.437 per kapita per bulan. Juga lebih tinggi dari GK September 2012 yang hanya mencapai Rp 392.571 per kapita per bulanPeningkatan jumlah penduduk miskin dipengaruhi dengan semakin tingginya garis kemiskinan di Jakarta. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Dengan data di atas, maka kemiskinan DKI Jakarta yang meningkat itu, dapat kita deskripsikan sebagai keterputusan (missing link) pembangunan dengan tujuannya. Hemat saya, progresifitas pembangunan itu prospeknya adalah pertumbuhan kesejahteraan. Bukan pencitraan. Blusukan kesana-kemari, yang nyatanya cuma selebrasi opini saja. Bukankah begitu?
Apa yang dikerjakan Jokowi?
Dengan data BPS di atas, kita bisa mengukur kemampuan Jokowi memahami inti soal pembangunan khususnya di wilayah DKI Jakarta. Yang dikerjakan cuma hal-hal teknis yang vibrasi opininya menghasilkan insentif pencitraan saja. Efeknya?

Akibatnya, “Jokowi efek” yang kita harapkan cuma menghasilkan efek pencitraan. Bukan efek prospek kemanusiaan warga Jakarta.Di tengah soal pelik DKI ini (kemiskinan dan pengangguran), Jokowi malah lepas tangan, demi mengejar ambisi kekuasaan.

Ya…apa namanya kalau bukan begitu. Kehadirannya hanya mangaduk-ngaduk birokrasi Jakarta, tapi efek universalnya tak terasa ke grass-roots level. Sekali lagi ini cuma kerja pencitraan, tapi rendah kualitas.

Jika kita sepakat bahwa kemiskinan adalah beban sosial, maka kemiskinan Jakarta saat ini (sesuai data BPS), adalah beban yang diberikan Jokowi kepada rakyat Jakarta. Mestinya, dengan semua janji manisnya dulu, ia harus bertanggungjawab terhadap soal kemiskinan dan pengangguran di DKI selama lima tahun ke depan.

Bukan pergi dan lari dari tanggung jawab. Dengan begini, Jokowi bukanlah seorang kasatria. Ia hanya sosok oportunis, selalu mencari peluang, apalagi peluang diberikan.

Jakarta sebagai cermin besar wajah Indonesia hari ini kian di titik nadir kehancuran. Figur yang diharapkan memberi solusi, malah menjadi sumber masalah.

Ya..mau tak mau, setuju tak setuju, Jokowi setelah dicapreskan, sudah menjadi masalah baru bagi Jakarta. Masalah itu adalah desain pikirannya tak lagi fokus mengurus Jakarta, tapi lebih mengurus pencapresannya.

Padahal, di belakangnya problem kemanusiaan (kemiskinan dan pengangguran) Jakarta menumpuk dan pelik. Warga Jakarta seperti anak ayam yang kehilangan induk. Ditimpali berbagai persoalan sosial.. eh kini ditinggal pergi pemimpinnya. []




Tidak ada komentar:

Posting Komentar