Minggu, 15 Juni 2014

Jokowi and sacred images


Jokowi and sacred images
Beberapa kali saya pernah test case dengan tulisan yang berbeda. Tentu mengkritik Jokowi. Saya dibully secara massal. Bukan menyampaikan argument, tapi malah mengatai, mengumpat dan kata-kata hinaan sejenisnya. Begitulah. Namun tak cuma saya, user-user Kompasiana lainnya yang mengkritik Jokowi pun ditumpah soal yang sama. Orang-orangnya juga sama; berikut corak diskusinya pun setali tiga uang. Tembakan kata-kata yang sering digunakan adalah “Panasbunk (pasukan nasi bungkus).” Belakangan masif kata-kata itu disasarkan pada tim sosial media Jokowi. Senjata makan tuan  

Di mata mereka tim sosmed Joko, ia bak ma’sum (tanpa dosa). Maka tak heran, penobatan Jokowi sebagai nabi pun kerap kita temukan. Berdasarkan penelusuran saya di google trends, kecenderungan searching dengan keyword “Jokowi nabi” mencapai 176 search results hingga Juni 2014. Pada bulan April 2012 berjumlah = 45, Desember 2013= 31, Juni 2014=100.

Namun disaat yang sama, kecenderungan publik men-searching dengan keyword Jokowi bohong, trendnya terus juga terkerek hingga Juni 2014. Kecenderungan google search engine menggunakan keyword “Jokowi Bohong” = 73 sercing. Trend pencarian Jokowi Bohong terus menanjak berdasarkan penelusuran google trends terkini.

Kesimpulan saya, pelabelan kata-kata “nabi” pada Jokowi, tak lepas dari “pengaruh” kultur kejawen (masyarakat Jawa) yang acap kali mensakralkan objek. Maka tak heran, sakralisasi terhadap sosok Jokowi tanpa kritik pun bagian dari krisis rasionalitas kefiguran dalam seleksi kepemimpinan nasional. Sementara, pengguna keyword “Jokowi bohong” dalam searching google adalah mereka yang masih kritis; atau yang masih melihat Jokowi sebagai sosok profane yang perlu dikupas orisinalitasnya. Dan ternyata? Palsu !    

Pilihan memuntahkan kerisauan pada Jokowi di sosial media, semua itu karena tak ada ruang di media mainstream. Karena media nasional sejak Jokowi dibumbuhi mobil SMK bodong, sudah terlanjur mewakafkan diri untuk pencitraan Jokowi. Media mainstream bahkan lupa meletakan Jokowi sebagai “objek kritis” yang kapan saja bisa diulik dan dikembalikan pada tempatnya semula.

Dulu kita sepakat, Jokowi sosok datang dan mampu memberikan warna bagi kepemimpinan alternatif, ketika rakyat semakin merasa jauh dari jarak dan tembok sosial yang dibangun pemimpin di negeri ini.

Saya membayangkan, di Pilgub DKI 2012, betapa ledak emosi dan eouforia pada Jokowi itu menghinggapi klimaksnya. Kehadiran Jokowi sebagai tokoh protagonist; sekaligus antithesis terhadap Fauzi Bowo yang nampak culas dan tak hangat dengan warga.

Jokowi datang ke Jakarta menancap harapan; ketika semua orang mulai menganggap, “siapapun yang mimpin Jakarta tetap sama saja.”  Bahkan harapan pada Jokowi itu meluber di pilgub 2012; dan tak mampu dikendalikan lawan-lawannya. Hingga akhirnya ia (Jokowi) memilih hengkang dari amanah demi ambisi jauh lebih besar; capres RI 2014.

Tentu berjubel harapan yang ditenteng Jokowi itu lepas. Warga yang tadinya punya harapan terkikis oleh hulu_ledak ambisi kekuasaan yang mengganas. Jokowi tak mampu, bahkan terpaksa mengelak dengan sejumlah alibi nan getas. Tak disangka-sangka, Jokowi secepat itu membelakangi janjinya. Janji Gubernur DKI.

Di tengah euphoria itu, ingatan saya masih bertenaga dan merekamnya persis, atas pernyataan-pernyatan langsung Jokowi, bahwa ia akan jadi Gubernur DKI lima tahun. Bahkan dengan sesumbar Jokowi mengakatan “Saya Gubernur DKI lima tahun, jika ada yang mengatakan saya mau capres, itu bohong dan isu; tidak benar !” Begitu lugasnya Jokowi meyakinkan rakyat Jakarta. Tapi sekarang?  Pernyataan itu kemudian diperkuat mass media, dan “abdi dalem” tim sosial media yang siang malam bekerja menangkal isu dan serangan lawan. 

Di belakang semua kegagahan image Jokowi itu, ada peran sekelompok orang yang mengemas Jokowi dengan segala pembelaan. Intinya Jokowi tanpa dosa tanpa salah. Merekalah tim Jasmev alias Jokowi Ahok Social Media Volunteer. Jasmev adalah detergen image politik Jokowi-Ahok yang kemudian di-recycle menjadi Jokowi Advance Social Media Volunteers (Jasmev) pada Pilpres 2014.
Untuk melacak anggota Jasmev tidaklah muda. Mayoritas mereka menggunakan akun palsu. Namun ciri khas menanggapi kritikan terhadap Jokowi bisa diduga. Menggunakan kata-kata kasar, tanpa reaosing yang kuat. Dan itu dilakukan secara runtun dan massal.

Disinilah kemudian saya berfikir; Sakralisasi terhadap sosok, adalah "gejala" kepunahan akal sehat, dalam seleksi kepemimpinan Nasional. Maka saya tak heran, kenapa orang begitu mensakralkan Jokowi, manusia SUCI, tanpa SALAH, tanpa DOSA. Maka saya dengan segala rasionalitas yang datar ini...masih menimbang JOKOWI sebagi sosok yang masih perlu dikuliti ! Merdeka !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar