Sabtu, 18 Oktober 2014

Pesta Rakyat Menyambut Naiknya Harga BBM

Pesta rakyat (Ilustrasi)
Apa bedanya pesta rakyat ala presiden terpilih Jokowi dan Rafi Ahmad? Tak ada bedanya. Dua-duanya sebatas luapan hedonisme. Kalau pesta Rafi ia merogoh kocek sendiri dan sponsor, sedangkan pesta Jokowi entah merogoh kocek siapa dan disponsori siapa? Apalagi pesta rakyat itu tak cuma di Jakarta, tapi se Indonesia.

Padahal dengan baju kotak-kotak dan celananya, Jokowi cuma punya empat kocek. Satu kocek baju depan dirogoknya untuk beli sepatu di Pasar Rumput. Tiga kocek celana muka belakang sudah terpakai bayar ojek ke Tanah Abang, dan juga untuk bayar bajaj dan makan di Warteg selama blusukan. Lalu dari kocek mana lagi membiayai pesta tiga hari tiga malam beruntun itu?

Jokowi cuma seorang presiden terpilih, yang sebelumnya hanya tukang mebel sederhana. Harga bajunya cuma Rp.100.000, sepatunya juga hanya Rp.160.000. Kemana-mana (blusukan) Jokowi kerap naik bajaj, atau ojek. Bahkan sering jalan kaki. Kalau di statistik BPS, mungkin Jokowi tengger di kolom hampir miskin (near poor). Sedikit tingkah naik taxi dan makan di restoran Padang elit, ia langsung terlempar ke kolom miskin BPS. Atau misalnya ia korban inflasi hebat di Indonesia, akibat harga BBM mendidih dan mengganas; juga langsung miskin.  

Dalam nomenklatur presiden RI, Jokowi satu-satunya presiden Indonesia paling teramat miskin di republik hampir miskin ini. Bukan sederhana. Kalau kemiskinan Jokowi itu lalu dipaksa sederhana lagi, bisa-bisa ia mati kering. Apa yang mau disederhanakan wong dia sudah miskin.  

Sama halnya Jokowi hendak menaikan harga BBM 50% lalu rakyat disuruh hidup sederhana? Apa yang mau disederhanakan lagi? Kalau kemiskinan rakyat diperas paksa jadi sederhana, itu apa namanya !

Lantas kalau Jokowi bikin pesta syukuran rakyat tiga hari tiga malam berantai, berarti ia pura-pura miskin? Apa iya pesta semeriah itu, seharga sepatu dan baju Jokowi? Atau mungkin saja pendukungnya menimpali, itu dana pesta sumbangan dari rakyat. Lantas rakyat yang mana?

Coba lihat rakyatnya, saban hari, nyinyir karena rencana naiknya harga BBM secara bertahap hingga 50%.  Berikut ikut terkerek harga kebutuhan dapur. Itu saja rakyat sudah mencla-mencle. Apalagi disuruh nalangin pesta Jokowi? Coba saja anda tanya ibu-ibu rumah tangga, bagaimana jika harga BBM naik, berikut harga kebutuhan pokok, pasti jawabannya diserta pasang muka persis angka “69”.

Kalau Rafi berpesta itu sangat wajar, karena mensyukuri kontak organ vital dengan Nagita yang sudah halal oleh agama. Yang tidak wajar itu Jokowi, apa iya mengelola kemiskinan rakyat harus dengan pesta tak karuan?

Apa iya mengelola sebuah negara miskin dengan berpesta-pora? Rafi pun masih dinyinyiri, kalau pesta nikahnya yang mewah itu semena-mena menggunakan frekuensi publik hanya untuk tontonan yang tak ada postifnya. Lantas apa positifnya pesta-pora menyambut pelantikan Jokowi?

Coba secara berjamaah kita membayangkan, apakah layak pesta itu digelar, sementara sebentar lagi rakyat dibakar gelisah akibat harga BBM naik hingga 50%? Apa layaknya pesta itu, sementara gini ratio kita semakin tinggi, disparitas orang kaya dan miskin semakin ternganga lebar? Apa layaknya pesta kalau defisit neraca perdagangan kita terus membuat rupiah terancam depresi? Apa yang dirayakan? Kemenangan? Kemenangan atas apa? Siapa yang dikalahkan? Prabowo atau rakyat pendukung Prabowo?

Sejenak kalau kita buka kamus dan sejarah: Dalam tradisi masyarakat agraris nusantara, pesta adalah perjamuan makan minum (bersuka ria dsb) disertai perayaan sesembahan (ritualisme); karena hasil panen berlimpah bagi para petani. Pun misalnya; budaya pesta dalam tradisi masyarakat nusantara, lebih dikenal sisi spiritualnya. Itu pun bentuk kesyukuran atas hasil pertanian atau hasil tangkapan oleh para nelayan sejak tempo doloe.

Jadi pesta dalam tradisi nusantara, lebih pada bentuk kesyukuran atas kemakmuran yang disertai dengan tindakan-tindakan spiritual. Lalu apa dimensi spiritual atas pesta rakyat dengan menghadirkan artis-artis setengah telanjang di hadapan khalayak? Objek kesyukuran apa yang dilakukan?

Yang pasti, pasca pesta yang tumpah-ruah itu, pemangkasan subsidi energi rakyat akan dilakukan pemerintahan Jokowi, yakni dengan menaikkan harga bahan bakar subsidi (BBM) secara bertahap selama tiga tahun hingga harga BBM bersubsidi sesuai dengan harga pasar, yakni Rp 13.000 per liter dari harga saat ini sebesar Rp 6.500.  

Kenaikan harga BBM bersubsidi mulai dilakukan tahun 2015 dengan kenaikan 20 persen, menyusul 50 persen dan 30 persen hingga 2017. Yang pasti, pasca pesta-pora itu, inflasi tahun 2015 akan mencapai 6,9 persen, lebih tinggi dibandingkan prediksi tahun 2014 sebesar 5,8 persen. Siapa yang buntung? Lalu apa yang disyukuri?

Akhirnya pesta Rafi Ahmad, jauh lebih bermartabat, karena dengan uang sendiri dan sponsor, spiritualitas akad pernikahaannya sedikit dibumbuhi hodonisme. Tapi Rafi jujur dan tak menyaku dalam-dalam hedonismenya sejak dulu. Berbeda dengan Jokowi, kemasannya sederhana dan miskin, tapi nyatanya? Inilah pesta dengan objek kesyukuran yang paling absurd. Hidup rakyat ! Merdeka !



Tidak ada komentar:

Posting Komentar