Maksudnya
“pesta rakyat” yang menyisahkan bau anyir sampah di setiap sudut Monas. Sampah
di malam 20 Oktober dan pagi 21 Oktober, membikin Jakarta rombeng tulen. Jakarta
dimalam 20 Oktober kumuh berkarau kumal.
Di
pojok Monas persis sebelah tempat penangakaran rusa yang gelap, sepasang
muda-mudi berbisik dan bermesum ria. Entah sebatas berpagut atau lebih ganas
dari itu. Aroma alkohol menyengat. Bauh pesing ikut menusuk hidung. Dua tiga
anak muda yang mabuk dan muntah-muntah--seperti diserang kedadak, berdiri sedikit
membusung, melepaskan resleting, tanpa malu menyemprot air kemih di sekitar
pohon palem yang tiarap terinjak massa. Ini revolusi mental tulen! Bau pesing
ditiup angin, menyengat dan amis. Pun pekik musik waria berdangdut di pojok
Monas dengan goyang meliuk setengah ngebor
disertai ujung mulut berkecumik menambah kebisingan.
Segerombolan
pemulung ikut berpesta. Sampah plastik air mineral dan aneka kemasan makanan menyumbat
sepanjang drainase dalam Monas. Hasil sampah malam ini bisa mengganjal rejeki si
pemulung untuk satu atau dua hari ke depan. Apapun itu, mereka hanya memungut
sisa. Sisa dari sampah kemeriahan itu.
Sang
presiden datang ke Monas dengan gaya parlente, dikawal ketat Paspampres. Pak
presiden Nampak gagah dengan mobil mewah impor Mercy S600 (bukan mobil SMK). Mobil mewah yang dulu pengadaannya
ditolak Fraksi PDIP berbusa-busa !
Di
pojok Monas yang gelap, ada pemulung berleher jangkung, wajahnya kasap dan mengapit
bayi kurus di pinggangnya. Selimut kumal menutup separuh kepala si bayi yang terlihat
lelah di sudut keramaian. Sementara anaknya yang berusia sekitar empat tahun,
mengais sisa biscuit oroe yang terlihat
separuhnya masih utuh bercampur sampah. Dikunyanya nikmat. Sisa orea yang sedikit utuh itu, disuap ke
mulut adik bayinya dan dilepehnya nikmat. Tapi tetaplah sisa.
Ketika
iring-iringan voorijder mengawal
mobil mewah presiden bermerek Mercy S600
melintas meninggalkan Monas, si pemulung
hanya menoleh sebentar, lalu gerak matanya kembali mematuk ke dasar aspal.
Memungut sisa kemasan makanan dan minuman yang bertebaran sana-sini. Di pinggir
pagar pintu Monas, sekelompok mahasiswa berjas almamater agak kritis bertanya,
dikiranya sang presiden sederhana itu mengenderai mobil SMK. Mobil yang dulu
mendompleng namanya.
Besoknya
tanggal 21 Oktober, beberapa media nasional menulis berita berjudul “Sampah.”
Beberapa media lainnya memberi judul berita “Pesta Dugem.” Entah pesta sampah,
entah pesta dugem, dua-duanya bermakna sampah. Apalah itu, tak perlu saya
jelaskan seperti apa persisnya definisi sampah.
Ada
juga media yang membanding-bandingkan, betapa dulu bentuk syukuran (bukan
pesta) pemerintahan SBY lebih sederhana, bila dibanding pelantikan Jokowi
dengan segala tetek-bengek kemeriahan dengan menghadirkan musisi luar negeri,
yang membikin separuh anak muda jingkark-jingkrak seperti kesurupan dan
kelebihan menyedot kecubung.
Besok
malamnya (21 Oktober), beberapa media juga melansir, Jokowi mengurungkan nama
beberapa orang sebagai calon menteri kabinet. Calon menteri yang dibatalkan itu
terdeteksi PPATK dan KPK karena punya jejak korupsi dan ketamakan sejenis. Ini
juga sampah. Sampah di bulan oktober, berjejer dari tugu Monas hingga ke
halaman Istana.
Sampah-sampah
kekuasaan itu harus dibuang Jokowi. Jangan sampai dikasih tugas kamuflase. Bisa
berabe ini republik ! Ini soal keberanian saja. Soalnya di belakang meja
istana, tawar-menawar politikus masih saling beradu. Yang pasti Jokowi berniat mengurangi
sampah-sampah politikus korup yang ikut nangkring di bursa kabinet. Tapi niat
saja tidak cukup, harus disertai perilaku komunal! Jangan ragu-ragu seperti
SBY. Kita jujur saja, kalau dulu SBY presiden
yang sering ragu-ragu mengambil keputusan! Saking watak peragunya, UU Pilkada
pontang-panting di tangan partai demokrat !
Diantara
onggokan sampah kemeriahan pesta rakyat itu, ada gunungan sampah yang masih
tersisa dari periode ke periode pemerintahan pasca Megawati dan SBY. Sampah
BLBI, Sampah Century.
Kedua
sampah ini (BLBI dan Century), benar-benar merugikan rakyat. Sampah BLBI yang
punya bunga utang rekap obligasi puluhan triliun rupiah, dan sampah Century
yang juga menggasak uang rakyat triliunan rupiah. Sampah ini bakal membikin
kumuh pemerintahan Jokowi. Dan ada juga sampah lainnya yang masih tersisa di
seputaran Istana. Kalau membersihkan sampah, mulailah dari gulungan sampah
paling tambun. Yang mana? Tentu Jokowi tahu.
Sepulang
dari Monas, yang tersisa dibenak saya, hanya gunungan sampah (semua jenis
sampah), aroma pesing menyengat, si pemulung dengan dua bocah--cilik yang mengais
sisa kemasan makanan dan minuman, serta mobil mewah presiden Jokowi bermerek
dan berkelas itu. Mobil yang dulunya ditolak Jokowi, tapi kini ia nyaman di
dalamnya. Selamat bekerja pak presiden. Semoga bapak nyaman memerintah, dan
juga membasmi sampah pemerintahan. Ya… sampah !
Saya
juga membayangkan, besok paginya (21 Oktober), pastilah pak presiden sarapan di
atas meja makan Istana, yang terbuat dari papan jati berkelas ukiran Jepara. Di
atas meja mahal itu, berjejal roti, keju atau jenis sarapan lain yang sudah
diperiksa satu per satu oleh dokter Istana. Agar makanan itu dipastikan sehat
dan layak dikonsumsi pak presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar