Kamis, 04 September 2014

Bibiku Profile Ibu yang Ulet di Kampung (Baranusa)

Bibi Isa berkerudung merah bagian kanan (foto : ms.doc)
Ibu berkerudung merah sebelah kanan ini bibi saya (saudara ayah) yang tinggal di Baranusa (Alor-NTT). Rumahnya berjarak 5 Meter dari sebelah kanan rumah kami. Namanya bibi Isa. Ia ibu yang ulet. Hari-hari bibi menjual kaleso di dermaga Baranusa. Dari pagi hingga malam, tangan dan kakinya tak henti bergerak. Ia terus sibuk dengan kaleso dagangannya.

Menyebut nama kaleso, impresi saya langsung menyentuh hal-hal yang beraroma liturgis, karena dulu kaleso hanya dinikmati pada hari-hari besar keagamaan; seperti Maulid nabi Mumamad saw, Isra mi’raj, dan malam Nujulul qur’an.


Kalau pun dijual di pasar, tapi sedikit dan tak seramai sekarang. Itu dulu. Sekarang kaleso lebih berimpresi pasar; untuk dijual, ramai dan hasilnya menyekolahkan anak. Kalau pagi jam 08.30 anda ke dermaga kapal Baranusa, susunan meja ibu-ibu penajaja kaleso berbaris. Pemandangan pelabuhan seperti karpet kaleso. Berjejer rapi.

Di antara jejeran penjaja panganan kaleso itu, bibi saya ada dan ikut berjibaku dengan para pembeli. Kaleso itu jenis panganan sebangsa lontong. Tapi kaleso dibungkus dengan daun kelapa atau daun gewang. Sebelum dikukus atau dimasak, beras kaleso ditumis lebih dahulu dengan komposisi bumbu berupa bawang merah dan pala. Jadi rasanya lebih plural dari lontong.

Biasanya, pagi buta, subuh pukul 03.30, bibi sudah bangun bergegas. Kalau ada suara perabot di dapur samping rumah, pasti itu bibi yang mulai menyiapkan kaleso untuk dijual ke pelabuhan. Paket lauk keleso bibi selalu dengan ikan goreng. Kalau bukan ikan Tembang, berarti Tongkol atau Kombong goreng balik tomat.

Aroma racikan kaleso bibi, tajamnya menusuk hidung. Bikin ngiler dan menohok rasa lapar. Aroma kaleso bibi juga isyarat bangun solat subuh. Kalau aroma kaleso berbumbu bawang dan pala tumis sudah melintasi dan terendus di hidung, berarti tanda subuh tiba, karena bibi sudah beraktivitas di jam itu. Aroma kaleso bibi seperti beduk subuh, menebar aroma, menghentak cita rasa dan memelek-kan mata.

Bibi menjual kaleso dari pagi jam 08-30 sampai sekitar pukul 14.00. Kaleso bibi dan ibu-ibu di kampung (Baranusa), umumnya dibeli oleh para calon penumpang dari Baranusa, atau penumpang transit dari Flores Timur (Larantuka) tujuan Kalabahi. Sampai sekitar pukul 14.00 itu, pasti kaleso bibi laku habis. Kadang juga tak habis terjual.

Kalau pulang kampung, saya selalu suka menunggu sisa kaleso bibi yang tak habis terjual. Ya…rasanya tetap top markotop, apalagi ditimpali ikan kombong atau tembang goreng balik tomat.

Merasakan dua nikmat sekaligus, pertama : karena itu buatan tangan bibi sendiri,dan kedua, bumbunya yang berani dan menusuk hidung. Sulit merasakan sensasi yang enigmatik itu di lain tempat, selain kaleso bibi.

Keringat dan peluh bibi ini berbuah manis, beberapa anaknya bisa kuliah hingga perguruan tinggi. Bukan main-main, kuliahnya hingga ke Bandung Jawa Barat. Saya cuma kuliah di Kupang, lalau rantau ke Jakarta.
Inilah mimpi seorang ibu, yang ada di pelosok desa NTT. Peluh dan tenaganya, menembus ganasnya selat Ombai dan selat Bali, demi mewujudkan mimpi anaknya bersekolah di bumi Pariyangan.

Bibi adalah profil ibu-ibu ulet di kampung kami. Mereka mengilhami kesadaran masyarakat, bahwa betapa pentingnya menyekolahkan anak, meski harus bercucur peluh sebagai apapun.
Keuletan bibi, adalah kesadaran menembus zona mainstream, kesadaran yang mahal, dan lahir ketika di kampung masyarakat secara komunal, menganggap, tak perlu bersekolah tinggi, bila sudah bisa bercocok tanam dan menembak seekor “ikan kabakku” di laut Baranusa.

Kalau dua soal hidup ini (bercocok tanam dan tangkap ikan) bisa dijawab, maka disegerahkan berumah tangga dan beranak pinak untuk membesarkan nama suku dan keturunan. Maka tak heran, di kampung kami, banyak anak usia sekolah yang sudah berumah tangga dengan family size yang besar, tapi defisit kesejahteraan.

Disinilai model keluarga horizontal terbentuk masif. Efek jangka panjangnya, pertumbuhan SDM menjadi rendah, dan hanya bisa menghasilkan tenaga buruh kasar dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) kemudian hari.

Profil ibu-ibu di desa yang ulet seperti bibi, adalah sebuah revolusi kesadaran, bahwa untuk maju, tak perlu pasrah dan menyandarkan nasib pada suatu titik zona tak tertolong. Pasrah pada takdir !

Keuletan bibi adalah sebuah revolusi kesadaran aktif, untuk tidak melulu melahirkan nasib keluarga yang horizontal, dengan nasib dan masa depan yang sama persis. Paling tidak, saya menangkap pesan (message) di balik keuletan bibi, bahwa kelak kalau bibi hanya seorang penjual kaleso, anaknya bisa jadi guru, dosen, pejabat daerah bahkan mentri. Maka terjawablah, kenapa bibi keukeuh menyekolahkan anaknya dengan berpeluh keringat menjual kaleso sepanjang hari. Bibiku idolaku []
Tags:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar