Jumat, 06 Maret 2015

Kenangan Bersama Ayahku

Saya dilahirkan dari keluarga sederhana. di Baranusa tempat saya dididik dan dibesarkan. Sebuah desa yang terletak di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.Ayah saya seorang guru Madrasah. Untuk menghidupkan keluarga, rasanya tidak cukup jika hanya mengandalkan gaji seorang guru golongan rendah.

Agar asap dapur kami tetap ngepul, ayah memiliki pekerjaan tambahan, yakni berladang dengan menanam padi, jagung dan ubi-ubian.Itu pun dilakukannya setahun sekali. Karena berladang di daerah kami hanya mengandalkan musim hujan disekitar bulan November sampai februari tahun berikutnya.

Karena serba terbatas itulah, Ibu saya pun tidak tinggal diam. Seperti Ibu-Ibu Baranusa pada umumnya, Ibu saya berdagang keliling untuk menambah penghasilan keluarga kami.

Masih terngiang diingatan saya, disetiap hari Selasa dan Sabtu, saya membantu ibu mendorong gerobak yang di dalamnya ada bakul yang berisi sembako yang akan dijual ke pasar. Selain kedua hari tadi, Ibu sering berdagang ke pulau sebelah, masyarakat Baranusa menyebutnya dengan Wu De’ing atau pasar hari senin.
Dengan menggunakan perahu kayu (sampan), setiap hari senin Ibu mendayung sampan sendirian ke Wu De’ing, dan kembali dari sana sekitar pukul 12 an siang. Kalau libur sekolah setelah ulangan catur wulan 1,2 dan 3, saya sering membantu Ibu ke pasar. Karena ketiga kakak saya sudah dirantaukan ayah ke Pasantren di Jawa Barat, ketika mereka masih duduk di bangku MI dan MTs.

Meski dengan kehidupan yang sederhana, ayah dan ibu termasuk orang tua yang taat beragama. Ibu sering tidak memberi makan, kalau sepulang sekolah saya belum melaksanakan solat dzuhur. Bahkan ayah pun terkadang bertindak keras, bila salah satu diantara kami empat bersaudara tidak mengaji ke Langgar (surau) atau tidak sholat berjamaah di masjid.

Ayah sering melaut

Semasa kecil, saya sudah terbiasa dengan kehidupan laut. Kegemaran saya pada kepesonaan teluk Baranusa yang penuh dengan berbagai spesies laut ini, karena kedua paman saya (saudara laki-laki dari Ibu) bermatapencaharian sebagai nelayan.

Saya masih ingat, ketika diusia 10 tahun, paman yang paling bungsu diantara empat saudara ibu, sering mengajak saya ke laut. Saya diajar banyak hal dari paman tentang cara atau teknik memancing yang benar.

Saya merasakan fantasi sebagai seorang nelayan cilik, ketika pertama kali berhasil membawa beberapa ekor ikan kakap merah pulang ke rumah.

Ikan-ikan tersebut merupakan hasil pancingan tangan saya sendiri. Ikan kakap merah atau dikampungku disebut ikang karappung adalah salah satu ikan kegemaran keluarga kami. Karena rasanya gurih, dan apabila dimasak kuahnya memerah, akibat pengaruh kulit ikan yang telah direbus matang dan bercampur warna kuah dan bumbu kampung yang sangat khas itu..

Selain paman, ayah pun sering melaut. Meski mengajar di Madrasah Ibtidaiyah sambil berladang, ayah selalu mencuri waktu untuk menaruh bubuh di pinggir Pulau Kura, atau pulau Katoru. Sebuah pulau yang berhadapan dengan Baranusa. Kira-kira butuh waktu 15 menit untuk ke sana.

Disetiap menaruh dan mengambil bubuh, ayah selalu membawa saya dan k’ Mat. Tapi ketika itu saya belum terlalu lincah berenang, sehingga ayah dan k’ Mat menyuruh saya berdiam diri di perahu, untuk menarik jangkar atau melepaskannya kembali bila ada tempat yang dirasakan cocok untuk menaruh bubuh.

Setiap kali kami menarik kembali bubuh yang sudah disimpan selama dua hari, kami selalu mendapat ikan yang lumayan banyak. Ada Ikan kabakku, ikan kakap merah, gurita dan belut serta jenis ikan lainnya.
Saya selalu memilih ikan kesukaan, namanya ikan Kabakku. Bila ikan jenis ini masuk ke lubuk yang kami simpan, saya selalu memisahkannya di tempat tersendiri.

Ikan Kabakku  teramat lezat rasanya. Saya paling suka kalau ikan ini dibakar dan leleh minyaknya menetes ke tungku api dengan aroma yang menusuk, dan membuat perut terus terasa lapar.

Lebih lezat lagi bila ikan Kabakku ini tersentuh oleh masakan atau menu khas Ibuku. Ibu sering merebus ikan ini dengan asam muda dan daun kemangi. Ikan ini memang memiliki cita rasa yang khas. Bila dimasak dengan periuk yang terbuat dari tanah liat buatan Ampera (salah satu nama desa di Alor yang kebanyakan masyarakatnya berprofesi sebagai pengrajin periuk tanah).
Rasanya nature, bahkan terkadang sampai melumat-lumat jemari bekas kuah dan sisa-sisa ikan yang masih menempel.

Biasanya ibu selalu menyeragamkan menu kuah asam ikan Kabakku dengan nasi jagung. Atau bahasa kampungku disebut wata bappe. Bahkan kalau Ibu memasak menu ini, saya paling suka menggaruk kerak nasi yang sudah disiram dengan kuah ikan Kabakku, karena kegurihan kuah ikanKabakku dan renyahnya kerak nasi jagung.

“Terkadang Ibu marah-marah, karena gesekan sendok dan periuk kedengaran sampai ke jalan depan rumah kami.”

Selain bersama ayah, saya pun sering ikut melaut bersama Bapaknya Lajamudin Melayu. Tetangga samping rumah yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Ibu dan ayah saya.

Biasanya kami membuang jala, atau memasang jaring untuk menunggu ikan, bila air laut surut. Dalam kepala saya masih sangat ingat, kalau Bapaknya Laja suka memaki kami berdua, bila dayungnya lambat. Atau dayungan kami menghantam dinding perahu dan berisik, mengakibatkan ikan-ikan yang kami kejar berpencar.

Tapi setelah pulang dan membawa banyak ikan, biasanya kami banyak tertawa selama di laut hingga tiba di rumah.

Dimasa-masa kecil, saya banyak melewati waktu bersama Laja, mulai dari mengikuti Bapaknya melaut, hingga menjual ikan tembang hasil tangkapan ke ujung kampung dan ujung lembah.

Kalau ikannya laku dan terjual habis, kami diberi uang Rp.100 oleh bapaknya Laja. Dimasa itu, sekitar tahun 90 an, hanya memegang uang Rp.100 hati kami sudah girang bukan kepalang.

Paling tidak, dengan uang itu, kami bisa membeli kue nok-nok. Kue berbentuk bulat yang terbuat dari ubi kayu yang disiram dengan kelapa parut setelah dikukus, dan dalamnya dikasih gulah merah.

Dalam satu tusukan kue nok-nok berisi lima buah dengan harga Rp 25 perak. Sisah dari uang itu kami belikan karet gelang atau kalereng untuk main bersama teman-teman lainnya di bawa pohon asam, yang letaknya disamping rumah Laja.

Saat-saat yang paling menggembirakan adalah setelah usai ulangan caturwulan tiga (3). Untuk mengisi waktu libur selama satu bulan ini, kami membuat batu-bata bersama teman-teman sekompleks.

Paginya mencangkul tanah, sekaligus merendam tanah yang sudah dihaluskan hingga sore. Esok harinya baru dicetak. Sesudah tanahnya dipastikan benar-benar lunak, setelah direndam selama satu hari.

Selama satu bulan penuh itu, kami lewati bersama teman-teman di kebun. Diwaktu-waktu senggang, kami sering bermain lempar-lemparan dengan lumpur bata. Atau lari sambil saling mendorong merebut kelapa kering yang jatuh di sekitar tempat kami membuat batu-bata.

Makan hanya dengan ubi kayu, dan minum air kelapa. Pergi pagi dan pulang disore hari menjelang malam. Jalan bergerombolan sambil menenteng daun singkong untuk sayuran Ibu di rumah. Atau membawa kelapa muda untuk mereka.

Saya pernah merasakan kegirangan yang teramat. Setelah Batu-bata kami dibakar, saya berhasil mengumpulkan batu bata berjumlah 1000 potong meski ada bebera potong yang rusak. Menjelang beberapa hari setelah selesai mengumpulkan hasil pembakaran tersebut. Batu bata saya ditawri orang dengan harga Rp. 250 per buah. Saya pun berhasil mengantongi uang sebesar Rp. 250. 000 setelah batu-bata saya di beli orang yang masih saya kenal dan sekampung itu.

Meski sekarang berada di rantau, saya masih mengenangnya. Masa-masa yang penuh dengan kemardekaan, terkadang saya sering berlama-lama di WC, sambil menghabiskan satu batang kretek Sampoerna, hanya sekedar mengenang masa-masa yang penuh dengan keringat yang ndress itu. “Meskipun sekarang sudah menetap di Jakarta, saya benar-benar bangga sebagai anak yang dilahirkan di daerah yang kaya akan kenangan sebagai anak desa []

Tentang Ibuku



Sudah 3 kali lebaran, saya tidak pulang ke kampung. Tentu dengan berbagai alasan. Mulai dari tuntutan hidup dan berjibaku dengan pekerjaan dan perstudian. Tapi selama tiga kali lebaran itu juga, saya memendam rasa yang teramat terhadap kampung halaman. Terutama Ibu saya, dan tentu juga dengan kaleso dan ikan goreng balik tomat khas pesisir racikan ibu.

Kemarin saya menelpon ibu, tapi mungkin signalnya buruk. Padahal, dikesempatan yang mulia ini, saya ingin menjelaskan pada ibu, kenapa saya tak bisa pulang. Meski ibu bisa memahaminya.


Dulu ketika kapal laut yang  saya tumpangi hendak bertolak dari pelabuhan menuju Jakarta, ibu berpesan, “Jangan pulang sebelum kau menaklukkan Jakarta”. Kata-kata itu diucap ibu dengan sungguh-sungguh.

Kalau bisa menelpon tadi pagi, saya hendak bilang ke ibu, “perjuangan masih panjang, masih membutuhkan keringan dan peluh. Izinkan ananda meneguk air cinta dan sentuhan kebundaan, hanya sebagai penyemangat untuk kembali ke perantauan”. Bagi anak desa seperti saya ini, pasti punya prinsip. Kalau sudah maju, pantang surut ke belakang. Ibarat perang, mundur selangkah mati kafir. Ini yang membikin saya masih kuat di rantau.

Tapi belakangan saya merasakan Jakarta begitu kejam, bengis dan culas. Setiap orang hidup dengan isi perutnya sendiri-sendiri. Kepedulian hanya ada di masjid, gereja, forum-forum pengajian dan retorika dosen yang berbusa-busa memuntahkan teori Karl Marx dan Kiri Islam. Tapi tetap sama saja. Di belakang meja perkuliahan, yang ada hanya ketidakadilan dan despotism. Universitas mengkomersilkan nilai, dosen mengeksploitasi mahasiswa dengan segenap arogansi akademiknya.

Yang kaya membungkus dirinya rapat-rapat dengan amalan yang demonstratif. Politisi dan penguasa pun sama saja. Memutihkan dosa dengan menyumbang sana-sini dengan uang hasil korupsi.

Pemuda, mahasiswa dan aktivis pembaharu diamputasi idealismenya. Bagi mereka kalangan muda progresif yang pragmatis, disulap menjadi elitis. Akhirnya, buta dan tuli terhadap kondisi di sekitarnya. Petani, buruh dan kaum miskin kota menjadi objek spekulasi angka-angka statistik.

Kemiskinan dan kepapaan mereka, hanya sebatas menjadi bahan-bahan presentasi bagi bagi mereka yang berdasi dan berseminar bak moralis di hotel mewah berbintang. Angka kemiskinan katanya dapat ditekan, tapi banyak yang antrian sembako hingga terinjak dan mati. Kejamnya struktur sosial demikian, terus mengejar dan menghantui saya.

Di tengah hiruk-pikuk itulah, saya dan tentu anak-anak kampung lainnya, bermimpi mengejar cita-cita. Kalau pun lebaran kali ini saya ingin sekali pulang, itu sekedar menarik nafas lagi. Menambah vitalitas. Cukup sekali lagi saja usapan tangan ibu di kepala ini, semangat untuk menjemput takdir itu kembali mengental. Sentuhan tangan ibu adalah mu’jizat. Dan juga keberkahan. Bisa mengalahkan kepongahan dan keculasan para pajabat di negeri ini. Bahkan bisa mengalahkan restu SBY sekalipun.

Tapi sudahlah, biarkan saya menikmati kesendirian di tengah kegaduhan Ibukota. Dengan begini, saya bisa merangkai satu demi satu pesan ibu ketika ananda hendak berlayar ke Kota ini. Setiap tetes air mata yang ibu jatuhkan untuk saya, akan diperhitungkan Allah.

Setiap keringat, peluh yang ibu ikhlaskan untuk saya selama ini, dicatat oleh Allah. Sebagai mata air kasih surgawi yang akan menemani ibu di kehidupan kekal kelak. Tiada yang sia-sia, ketika semua ini kita sandarkan pada-Nya.  Do’aku kan selalu menyertai setiap tapak kaki dimana Ibu berpijak. Amen

Pasca HMI, Mengasingkan Diri di Kota Belu



Setamat studi dan menyelesaikan tugas sebagai Ketua Umum HMI Cabang pada tahun 2004, saya seperti orang jatuh terkusruk. Gamang meraba masa depan. Tak sedikit teman-teman seangkatan yang pulang kampung untuk mengikuti tes PNS. Kota Kupang kembali sepi. Satu persatu mereka pergi demi tuntutan hidup.

Hanya saya yang masih menahan diri di Kota Kupang. Itupun tak terlalu lama. Akhirnya saya memilih mengasingkan diri di kota perbatasan Indonesia dan negara Republic Demokratic Timur Leste (RDTL). Pilihan ini bukan keterpaksaan, tapi suatu strategi untuk menghindari umpatan sosial yang mempertanyakan kenapa saya tak PNS?

Memang di lingkungan sosial saya, PNS itu seperti agama baru. Status dan derajat sosial seseorang akan terangkat di lingkungannya, manakala ia PNS. Mitos mengerian inilah yang turut menjadi kegelisahan ayah dan ibu saya di kampung.

Ibu saya pernah memohon-mohon agar saya test PNS, tapi saya mencoba memberi pengertian. Namun karena persepsi sosial ini telah berurat-akar, makanya sulit ditepis dari mind-set orang tua. Hemat saya PNS atau tidak, itu bukan soal. Yang saya takut dan khawatirkan adalah terjadi paceklik nilai dalam hidup dan struktur berfikir saya.

Saya masih ingat, sore itu dipenghujung september 2004, dengan pakaian yang terbungkus dengan kresek plastik berwarnah merah dan uang Rp.100.000, saya berangkat ke tarminal bus Oebobo-Kupang diantar kekasih saya (waktu itu) Siti Hainun Krsaini Resi. Sosok yang berati dalam hidup saya. Sosok yang tak sanggup saya balas semua kebaikannya.

Tekad saya untuk mengasingkan diri di Atambua sudah bulat. Sore itu dengan bus Sinar Gemilang, saya dan penumpang lainnya meluncur di tengah hutan dan bebukitan antara Kupang dan Belu. Nunung melepaskan saya dengan derai air mata.

Berat juga hati saya meninggalkan Kota Kupang. Kota yang mengukir sejumlah tapak juang saya dan teman-teman. Di sana kami mengasah idealisme, di sana kami menajamkan cara pandang dan ideologi, di sana pula benih-benih cinta berserahkan dijeda waktu berdialektika dan melawan sistim sosial yang koruptif.

Di kota Kupang lah persenggamaan kepamahan keislaman dan realitas sosial objektif tercipta. Namun kota itu telah sepi. Satu demi satu kami terpental keluar ke kampung masing-masing demi tuntutan hidup dan keluarga. Begitupun saya, akhirnya memilih mengasingkan diri di Kota Belu.

Sore itu di dalam bus, hati saya gundah bergelayut kesepian yang teramat. Memilih ke Belu adalah labirin yang sulit ditepis. Tapi apa dikata, saya adalah serpihan otomik yang terpental oleh gemuruh dan deburan gelombang pragmatisme sosial yang akut. Dalam bus itu, saya berusaha memenjarakan tatapan mata ke dalam hutan belantara. Agar tak lagi melihat sesiapapun di sekitar saya. Sesekali air mata saya jatuh, “betapa hidup ini saya jalani sendiri tanpa dorongan tangan sesiapapun terkecuali ayah dan ibu yang jauh di sebrang laut Timor.

Dalam bus, saya terhibur oleh lagu-lagu berbahasa Portugis yang diputar oleh sopir bus mengiringi perjalanan kami. “O amor ea solidao que e um amargo” cinta dan kesendirian itu dua hal yang pahit. Saya hanya tersenyum sedikit jengkel mendengar lagu ini. Entahlah, saat lagu ini digubah, apakah sang penulis mengalami situasi batin yang sama sepeti saya atau apa? Memiliki cinta, tapi terpaksa pergi dalam kesendirian. Pahit rasanya.

Tepat pukul 03.45, bus kami pun tiba dikota Atambua. Kota yang asing bagi saya. Memang di sini ada beberapa keluarga saya dari kampung, tapi saya pun kurang tau, dimana tempat tinggal mereka. Saya teringat pesan ayah, “Kemana pun kamu pergi, jadikan masjid sebagai tempat persinggahanmu yang pertama, karena disitulah terdapat pintu rahmat Allah bagimu”. Malam itu saya tidur di masjid.

Tanpa terasa, waktu subuh menghampiri rasa kantuk saya yang teramat dimalam itu. Tapi pagi itu saya berusaha melawan rasa kantuk dan berwudu lalu azan subuh. Banyak mata yang tertuju pada saya penuh tanya. Maklum, suara saya terbilang bagus. Itu menurut teman-teman saya di HMI.

Bukan untuk ria, dari dulu saya tinggal dimasjid menjadi muazzin. Itupun karena pak Imam masjid (Aba Jafar) senang dengan suara azan dan mengaji saya. Sejak SD hingga MTs, saya selalu masuk dalam juara MTQ. Di HMI saya selalu menjadi qori’ langganan bila ada acara-acara resmi.

Setelah solat subuh, saya dengar banyak Ibu-ibu yang menanyakan “Siapa anak yang azan subuh tadi? Suaranya merdu dan sahdu”. Meski dalam kegamangan karena tidak tau kemana saya harus tinggal, batin saya merasa terhibur, bahwa ternyata saya masih punya harga oleh sebahagian orang.   

Berbekal sisah uang ongkos bus, pagi itu saya mencari warung makan untuk sarapan. Maklum, sejak kemarin sore, perut saya keroncongan. Tak ada sesuatu apapun yang masuk ke dalam perut saya. Air putih pun tidak. Uang yang ada di dompet saya tinggal Rp 26.000, kalau ditamba makan siang, besoknya saya tidak punya uang sepeser pun.

Satu-satu harapan saya adalah berharap ada pertolongan Allah untuk mempertemukan saya dengan keluarga atau teman.....Bersambung

Gurih Ikan Bakar Kupang Menyengat Lida


Rabu, 07 Maret 2013, hujan yang menggempur kota kupang selama dua minggu non stop, tak menggentar niat saya melahap ikan bakar khas Kampung Solor-Kota Kupang-NTT. Memang ini kedua kali saya menyambangi pasar malam Kampung Solor. Tapi sebelumnya saya tak begitu khusuk mencicipi ikan bakar khas Kampung Solor itu.
 
Kira-kira awal februari 2012, dan pasar malam Kampung Solor belum dipindahkan ke sebelah gedung pabrik Es peninggalan kolonial Belanda di Kupang . Saya dan beberapa teman-teman dari Jakarta agak sedikit kesal. Ketika kami sedang asik-asik makan ikan bakar, lampu neon yang digunakan di tenda itu padam. Parahnya, lampu neon tak bisa dinyalakan setelah kami mengunggu beberapa lama.

Belum juga kami mendaki puncak kenikmatan bumbu-bumbu ikan khas Kupang, terpaksa harus menahan selera yang menggila itu, karena tak mungkin makan ikan di tengah kegelapan.  Saya melihat garis wajah penasaran beberapa teman yang terpaksa menahan keinginan untuk menghisap tulang dan kepala ikan yang segar-segar itu. Soalnya sebelum mendarat di Kupang, saya berpepsan, belum lengkap rasanya ke Kupang, kalau kalian belum menghisap kepala Ikan bakar di pasar malam Kampung Solor.

Tapi kemarin Rabu 7/3/2013, saya ngotot di tengah gemuruh hujan petir yang mengganas di kota Kupang. Dengan mobil sewaan Kijang Inova, kami pun meluncur ke kota yang letaknya di pesisir Kota Kupang itu.

Dengan bermodal payung kecil, kami menyisir satu demi satu aneka ikan yang disuguhkan.  Rasa sakit akibat patah tulang pada lengan kiri saya pun seakan mengalah dan berdamai dengan selera makan yang terus menohok malam itu.

Ada ikan kakap, ikan kombong, ikan tuna dan ikan kerapu. Semuanya ikan laut segar. Di kupang tak ada ikan air tawar hasil tambak seperti di Jakarta. Ikannya masih segar. Saya bisa melihat itu dari Insang ikan yang masih merah, ekornya terlihat kaku dan bengkok. Artinya ikan itu baru saja ditangkap. Bahkan ada beberapa ekor ikan yang ketika diangkat dari fraser, ekornya masih bergerak. Sambil menunggu, dalam hati saya berkata, "ini baru ikan". 

Sambil melihat si penjual membakar ikan, ekor mata saya pun melihat dengan penuh penasaran, kira-kira apa saja yang akan mengiringi makan besar kami malam ini? Ternyata gayung bersambut, lalapan yang sudah disiapkan memompa kegilaan selera makan saya malam itu.

Ada terong bakar segar yang disiram dengan jeruk purut. Terongnya dibakar setengah matang. Saat terong itu dibakar, kulitnya terbelah karena matang, dan menetskan air ke dalam bara api dengan aroma bercampur bumbu yang tak saja menyengat hidung, tapi sekaligus bikin ngiler. Saking nikmatnya, saya nambah tiga kali terong bakarnya. Padahal ikan bakarnya belum disuguhkan.

Setelah menambah tiga kali terung bakar, akhirnya ikan yang kami pesan pun disuguhkan. Aroma rempa-rempa khas kupang begitu terasa. Saya tak sempat bertanya pada si penjual bumbu apa saja yang diracik, karena hujan dan berisik. Tapi ketika pertama mencicipi ikan bakar malam itu, kuping saya tersa bergerak tak karuan.

Orang Kupang bilang "ini ikan berani bumbu". Selain ikannya segar dengan minyak daging ikan yang masih terasa gurih, tapi perpaduan bumbunya pun menukik kesegaran ikan bakar hingga begitu membakar selera. Bumbu-bumbunya terasa memandu lidah kita untuk memaknai kesegaran ikan di perairan kota Kupang.

Memang benar-benar moi dan maknyos ikan bakar khas kota Kupang. Belum lagi sambal terasinnya yang pedas menyengat. Malam itu hujan dari pukul 18.00 Wita, udara dingin, di bawah kaki kami tergenang air jernih (banjir),  sendal bahkan ujung kaki saya lembab.

Tapi pedasnya  bumbu yang menyegat malam itu, memompa keringat dari ubun-ubun saya. Keringat kenikmatan. Orgamse cita rasa yang sempurna. Sambil menarik sebatang rokok Sampoerna sebagai penutup makan malam, saya menarik napas dalam-dalam,.hmmm sebaiknya sering-sering ke Kupang.

Kampung Solor, tak saja menimbun segudang cita rasa kuliner dan ikan bakarnya, tapi menyimpan bait demi bait syair cinta yang pernah saya dendangkan pada gadis pujaan semasa kuliah dulu di Kupang. Kupang masih tetap menggoda. []