Rabu, 15 Oktober 2014

Dreams From My father's A Story Of Race and Inheritance

Judul Buku : Dreamas From My father'S A Story Of Race and Inheritance Penulis : Barak Obama
Penerbit : Three Rivers Press, New York
Tebal buku : 493 Halaman


Peresensi : Abdul Munir Sara


Peresensi : Munir A.S
Buku Dreams from my father karya presiden Amerika Barak Obama, adalah lintasan hidup Obama yang dipenuhi despotisme rasial. Dari masa kanak-kanak hingga menjadi presiden AS. Buku setebal 493 halaman ini memiliki  space sosial yang luas tentang egalitarinisme. Baik dalam telaah masa kanak-kanak Obama, masa-masa dimana ia harus mengikuti Ibunya berkelena di bebera belahan dunia, hingga menjadi politisi dan sekarang berada di puncak kesuksesan sebagai satu-satunya presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat (AS).

Sejak diterbitkan buku ini pertama kali pada tahun 1995, banyak sudah resensi yang mengulas habis aspek jejak hidupnya. Baik dari lika-liku semasa bersama Ibunya di Hawai, Jakarta-Indonesia dan beberapa negara yang pernah disinggahi sang Ibu.

Namun semua aspek ulasan hanya menerangkan sisi-sisi formal silsilah Obama, serta kisah-kisah melo dramatik yang dilewati Barry (nama kecil Obama). Mulai dari indahnya suasana pantai Hawaii negara asal ibunya, serta bentangan sawah menghijau dan kenangan masa kanak-kanak di indonesia yang didomisilinya selama tiga tahun.

Namun, uraian spesifik hidup terkait beberapa gerakan keberpihakan sosial dari keluarga, baik dari kakek, ayah dan terutama Ibunya, tak diselami secara detail pada beberapa resensi yang telah ada sebelumnya.

Padahal tentang kesadaran dan gerakan keberpihakan sosial ini, sering muncul dan berbicara sendiri terkait hiruk-pikuk hidup Obama yang serba maknawi dalam Dreams From My Fathers. Dalam buku setebal 493 halaman ini, dideskripsikan secara rinci oleh Barry, bahwa Ibunya telah menghabiskan 10 tahun untuk membantu kaum perempuan di Asia dan Afrika. Mengangkat mereka dari kebodohan dan keterbelakangan sumber daya.

Ibunya pun telah menunjukkan kiprahnya melalui suatu gerakan sosial terorganisir untuk membebaskan kaum perempuan dari realitas keterbelengguan menuju pencerahan dan pembebasan.

Walaupun dimasa-masa itu, ancaman kematian terus membuntuti ibunya akibat serangan kanker kronis disaat Obama mulai tumbuh sebagai seorang anak yang mulai mengerti tentang nilai hidup (13-14). Dari rekam jejak juang Ibunya, karakteristik seorang Obama mulai tumbuh dan menjadi cikal-bakal nilai-nilai sosial yang keseluruhan perjuangan sosialnya hingga menjadi presiden AS.

Tentang Dreams From My Fathers ini, perlu kita telaah dalam beberapa dimensi pokok realitas yang memberikan artikulasi tentang sosok dan karakteristik Obama, berikut sepak-terjang perjalanan hidupnya yang serbah unik dan memukau.

Pada bagian pertama buku ini (Halaman 32-49) Obama mengisahkan perjalanan kakek dan Ibu-Bapaknya yang penuh dengan fanatisme rasial. Misalnya pada halaman 13,  diceritakan Obama bahwa pernikahan kedua orang tuanya di tahun 1960, sangat menyisahkan kisah-kisah yang getir dan memilukan bila dikenang.

Masa itu, perkawinan antar ras masih dianggap sebuah kejahatan. Sebagaimana yang terjadi di hampir separuh negara bagian Amerika Selatan. Saat itu Mungkin saja ayahnya bisa digantung, walaupun hanya memandang Ibunya yang berketurunan kulit putih.

Meskipun di tengah-tegah situasi seperti itu, Ayah dan Ibu Obama nekat melangsungkan pernikahan. Meski tak seperti layaknya sebuah pernikahan sungguhan yang dimeriakan dengan tarian Hawai, kue pengantin, cincin, dan pelepasan pengantin perempuan.

Tak ada satupun pihak keluarga yang menghadiri pernikahan itu. Yang ada hanyalah sebuah serimoni kecil pernikahan sipil dan seorang hakim setempat. Semuanya tampak rapuh bila ditinjau kembali, dan terkesan begitu sembrono (halaman 43).

Dengan lingkungan sosial seperti itulah Obama dilahirkan. Dimasa kanak-kanaknya, kepedihan terhadap cengkraman rasisme begitu menekan batinnya. Rasa kemanusiaan dan egaliterianisme seolah tak berkutik oleh sebuah arogansi dan rasa lebih unggul dari satu kelompok ras manusia atas ras lainnya.

Diceritakan Obama : dengan lingkungan seperti itu keturunan rasku hanya membawa sedikit masalah bagi kakek nenekku, dan mereka segera mengikuti menghina yang biasa dilakukan oleh penduduk lokal terhadap pendatang  yang berbeda ras.

Terkadang dengan sedikit miris, kakek melihat para turis yang memandangku bermain di pasir, dia akan mendatangi mereka dan berbisik dengan nada menghormat, bahwa aku adalah cucu Raja Kamehameha. Raja pertama Hawaii (Halaman 46).

Dalam setuasi yang terpinggirkankan akibat rasisme inilah, mengakibatkan ayah Barry pergi menghilang tampa pesan, kabar dan berita ketika ia masih kanak-kanak. 

Tumbuhnya sikap empati dan meraskan nasib dan penderitaan orang lain telah ada, dan menjadi tumpukan awal rasa kepeduliaan sejak Ia bersama Ibu dan Bapak tirinya tiba di Indonesia. Selama tiga tahun di Indonesia, beragam realitas sosial ikut mengukuhkan menumbuhkan rasa kepedulian yang tinggi dalam diri Obama.

Kisah demi kisah diurutkannya tentang penderitaan orang-orang kecil yang dihina dengan materi dan kedudukan. Suatu kenyataan yang disaksikan dengan mata mungilnya pada masa-masa kecilnya di Indonesia

Dikisahkan Obama; suatu ketika Ia melihat pengemis berada di mana-mana. Sebuah geleri orang-orang sakit. Lelaki, perempuan dan anak-anak menggunakan sobekan kain yang berselimutkan debu. Beberapa pengemis tidak berlengan. Lainnya tanpa kaki.

Korban-korban penyakit kudis atau polio atau lepra yang berjalan dengan tangan mereka, atau meluncur dengan gerobak yang dibuat sembarangan. Kaki-kaki mereka terlipat di belakang bagai manusia karet.

Apa yang di paparkan buku ini, bukanlah suatu penyingkapan fakta semata, tetapi suatu keyakinan yang direfleksikan oleh Obama dari masa-masa ketika ia masih duduk di bangku SD di Indonesia.

Karena rasa ibahnya yang dalam terhadap realitas orang-orang miskin-papa yang dilihat, pada mulanya Ia hanya melihat Ibunya menyerahkan sejumlah uang kepada siapa saja yang berhenti di depan pintu rumah, lalu Obama mengikuti yang dilakukan Ibunya dengan perasaan jujur. Bahkan ia sering kali melakukan itu, hingga sekali waktu ia pernah ditegur ayah tirinya yang biasa dipanggil Lolo (61-62).

Nilai-nilai kepedulia itu didapatkannya dari sang Ibu yang juga begitu anti terhadap kemewahan hidup dan konsisten pada kesederhanaan yang eksistensial. Pernah suatu waktu, Barry atau Obama kecil menguping pertengkaran yang terjadi antara Lolo ayah tiri dengan Ibunya.

Biasanya pertengkaran itu berkaitan dengan penolakan Ibu Obama terhadap ajakan ayah tirinya untuk menghadiri pesta makan malam yang serbah wah di perusahaan tempat Lolo bekerja. Pesta akbar yang dihadiri para pengusaha dari AS dan Louisiana yang biasa menepuk punggung Lolo dan membanggakan sogokan yang telah mereka berikan untuk mendapatkan hak-hak pengeboran lepas pantai yang baru. Sementara isteri-isteri mereka akan mengeluh tentang kualitas pembantu Indonesia yang bodoh dan bebal.

Ibu Obama sering menolak ajakan-ajakan Lolo pergi makan bersama di acara-acara kantor tempat Lolo bekerja. Bahkan untuk menjaga jarak atas prinsip kesederhanaan itu, Ibu Obama menegaskan kepada Lolo, bahwa ia berbeda dengan orang AS pada umumnya yang suka pada gaya hidup borjuasi yang hedonistik.

Dari secuil persitiwa sosial dimasa kecil inilah, menghantarkannya pada sebuah kepedulian besar. Hingga pada tahun 1983, Obama memutuskan menjadi aktivis penggalangan masyarakat (community organizer).

Tentang pilihan hidupnya sebagai aktivis, dikenangkan kembali Obama; “tak banyak penjelasan tentang profesi ini. Aku tak mengenal orang yang mencari nafkah dengan cara ini.”

Saat teman-teman kuliahnya menanyakan pilihan hidup yang digelutinya sebagai seorang aktivis, ia tak dapat menjawab langsung. Malah ia menyuarakan perlunya perubahan. Perubahan di Gedung Putih, tempat Reagen dan antek-anteknya melaksanakan pekerjaan kotor (halaman 168).

Perubahan di Kongres AS yang tak bergigi dan korup. Perubahan dalam semangat negara AS yang ketika itu teramat maniak dan asik dengan dirinya sendiri.

Menurut Obama, perubahan tak akan muncul dari atas. Perubahan akan muncul dari rakyat akar rumput  (grass-roots level) yang diberdayakan.

Melalui gerakan ini pula Ia mencoba melawan arus-deras serta kabut kelam rasisme yang masih terus menutup mata dan pandangan kemanusiaan di AS.

Salah satu ucapan Obama yang cukup mencengangkan dan membangkitkan tumbuhnya perjuangan keras untuk keluar dari dikotomi ras hitam adalah “komunitas (hitam dan putih) bukanlah pemberian. Setidaknya bagi warga kulit hitam, komunitas harus diciptakan, diperjuangkan dan dirawat sebagai kebun. Ia berkembang atau menciut sejalan dengan mimpi manusianya dan dalam gerakan hak sipil. Mimpi-mimpi ini besar ukurannya (halaman 167-169).

Dipertengahan perjalanan hidup Obama, Ia sering diterangi Spiritualitas. Meski sesekali ia sering protes dengan kebijakan gereja yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan dan realitas kehidupan masyarakat yang terkungkung oleh kebijakan negara.

Ia sering kali melontarkan pertanyaan yang membingungkan kepada elit Gereja Trinity, Sebuah Gereja tua bersejarah milik orang kulit hitam yang terletak di South Side.

Dalam kaitannya dengan ini, Obama menulis “Jika orang seperti Pandeta Wright tak bisa bersikap, jika Gereja seperti Trinity menolak terlibat dalam kekuasaan yang nyata dan konflik yang sangat beresiko, lalu bagaimana caranya agar tetap menjaga keutuhan komunitas yang lebih luas?

Dalam halaman berikutnya Bab ini, Obama pun berseloroh bahwa terlalu banyak berargumen dengan Tuhan, hingga tak bisa menerima bahwa keselamatan bisa diraihnya begitu mudahnya (halaman : 327-328)

Di bab terakhir dari buku Dreams From My Fathers ini seolah merepresentasikan obsesi besar perubahan dalam diri Obama. Seperti yang pernah diimpikan Sang Ayah Barak Obama dimasa silam, untuk dapat memardekaan diri, melepaskan diri dari kungkungan rasisme yang memenjarakan hak hidup.

Disini Obama mencatat, sebagaimana dalam kisah-kisah pergulatan hidup yang diceritakan oleh neneknya ketika suatu waktu barak Obama berkunjung ke keluarga besarnya di Kenya.

Seperti anak-anak muda lain, ayah Obama terpengaruh pada gagasan kemardekaan. Ia pulang sekolah dan menceritrakan rapat-rapat untuk mengagendakan perlawanan yang ia lihat (halaman 465). Setelah Ayah Obama pindah ke Nairobi, pikirannya mulai beralih pada dinamika politik di Nairobi dimana orang-orang Kikuyu mulai mengobarkan peperangan di hutan.

Barak ayah Obama mulai keseringan mengikuti pertemuan-pertemuan politik di negeri itu sepulang bekerja. Ia pun mengenal beberapa pemimpin KANU.

Pada suatu saat Barak pernah ditahan oleh polisi ketika ia sedang mengikuti rapat dengan alasan telah melanggar peraturan tentang rapat. Ia pun dipenjara.

Selepas keluar penjara, meskipun bebas dengan jaminan, Barak kemudian merefleksikan banyak hal, termasuk perkataan ayahnya Onyago (kakek Obama) dan memutuskan untuk bekerja dan melanjutkan studinya yang belum sempat tercapai. Namun semangat membebaskan diri dari ketidak_adilan dan diskriminasi ras selama hidup terus diimpikannya (halaman 466-467).

Dari kisah perjalanan dan petualangan kakek dan ayahnya, yang meringkuk dalam hegemoni dan desosialisasi arogansi kulit putih, telah memberikan semangat untuk bangkit melawan takdir sosial sebagai anak yang terlahir dari  persilangan dua gen beda ras. Ayahnya yang berketurunan kulit hitam dan ibunya yang dari keturunan ras kulit putih.

Meskipun tumbuh besar dengan sebuah kegetiran perasaan serta dendamisme masa lalu terhadap orang kulit putih, lagi-lagi perasaan masa lalu itu tak membuatnya dendam. Kenyataan membuat ia menoleh ke belakang bahwa ibunyapun adalah seorang keturunan kulit putih dari Hawaii AS.

Terlepas semua itu. Realitas masa lalu yang serba kompleks telah membuatnya memiliki kematangan sosial yang mumpuni. Jika  kita cermati isi buku Dreams From My Fathers, dan menghayati bab demi bab, maka yang membekas dalam pikiran kita adalah, buku ini mencitrakan suatu kepribadian yang ingin bebas dari belenggu sosial atau suatu takdir sosial yang diskriminatif.

Sekilas memang terkesan masa lalu yang getir itu menghendaki suatu akumulasi dendam yang mendalam. Namun dengan dialektika batin pada kenyataan masa lalu Obama, antara ayah dan ibu yang bertemu dan memadu hidup dalam sebuah penolakan yang radikal atas perbedaan warna kulit. Pergolakan ini membuatnya semakin mengerti, bahwa keragamaan adalah hukum alam dan justru harus bisa diterima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar