Kamis, 09 Oktober 2014

Resensi Buku : Devolusi Negara Islam

Judul buku  : Devolusi Negara Islam
Penulis : Prof Dr. Ali Asghar Engineer
Penerbit : Pustaka Pelajar
ISBN : 079-9289-68-8
Tebal : v+346
Peresensi : Munir A.S


Resensi Buku : Devolusi Negara Islam
Kontroversi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan pemahaman terhadap konsepsi negara Islam, adalah suatu corak ideologisasi agama yang kerap tak beradab dan bengis. Nilai-nilai agama dikulitinya, lalu dijadikan jubah kekuasaan, lantas menafsirkan agama persis seperti malaikat pencabut nyawa yang kapan saja boleh meranggut nyawa manusia. Mengambil alih kuasa Ilahi ke dalam gengggamannya yang kotor dan berlumuran darah.

Lantas di tengah euphoria negara Islam itu, nama Tuhan dijadikan yel-yel pembantaian, meski Tuhan yang diklaimnya, tak membenarkan sebuah peperangan tanpa musuh, dan hanya karena syahwat berkuasa yang menumpah. Maka dengan kesadaran demikian, membaca buku Prof Dr. Ali Asghar Engineer, seakan memuntahkan sekian soal pelik konflik negara-negara pemilik agama (Timur Tengah) yang acap kali menampilkan tuhan (t) dan agama formal (a) dalam bentuk wajah yang sangar dan culas. Dan menyalami soal pelik ini, menyadarkan kita pada pentingnya menjelajahi konsepsi relasi Islam dan negara, dan menyandingkan keduanya dalam impresi kemanusiaan yang genuine.    

Arah baru revivalisme Islam, menjadi kerisauan bagi Ali Asghar Engineer. Titik kerisauan itu bermuara pada bentuk pencarian jati diri negara-negara mayoritas Islam dalam mereformalisasi hubungan negara(state) dan Islam (ideology). Itikad me-reformalisasi Islam dalam relasinya dengan negara ini, sebagai akibat penolakan ummat Islam dan khususnya di kawasan Timur tengah terhadap dekadensi moral kemanusiaan Barat dan ketidakadilan dalam merespon konflik-konflik antar bangsa. Semisal konflik Israel-Palestina, Irak, Afganistan dan pemboikotan Iran. Barat dan khususnya Amerika Serikat (AS), selalu memainkan standar ganda dalam menakar konflik-konflik di Timur Tengah.

Namun celakanya menurut Engineer dalam buku setebal 346 ini, formalisasi Islam itu cenderung diterjemahkan dan dimanifestasikan secara parsial. Engineer menulis; Islam dan formalisasi terhadapnya, diterjemahkan sebatas hukum qisas, potong tangan dan rajam bagi pezina dan berjilbab atau cadar bagi yang wanita.

Di lain sisi, arah baru kemajuan ekonomi akibat sokongan bisnis perminyakan, turut menghela negara-negara Timur Tengah ke kancah bisnis global. Seiring dengan itu, kesadaran politik pun kian membuncah. Namun disaat yang sama, pertumbuhan ekonomi yang disertai surplus kesadaran politik dan demokrasi, justru menimbun dilema baru dalam peta konflik Negara-negara Timur Tengah.

Blok-blok politik dan ekonomi pun tercipta secara teritori. Dalam buku ini, Engineer menyebutkan “Meningkatnya kesadaran politik dan demokrasi di kalangan muslim, cenderung menciptakan persoalan-persoalan tertentu dan memunculkan wilayah-wilayah ketegangan baru di Timur Tengah (Halaman : 1).  

Ketegangan-ketegangan politik itu cenderung membuncah pada wacana negara Islam. Kondisi-kondisi inilah yang memantik Engineer mengkaji asal-muasal negara Islam, dengan mendekati struktur sosial politik masyarakat Arab (Mekkah-Madina) dan kehadiran nabi Muhammad SAW dalam pemetaan konsep relasi agama negara. (baca halaman : 17). Karena di kedua tempat suci ini (Mekkah dan Madina), adalah titik penting sejarah kebangkitan politik Islam.

Dalam telaahannya Engineer juga menguraikan, bahwa evolusi negara Islam adalah suatu terminologi yang tak pernah ditemukan dalam Islam. Dan khususnya masyarakat Arab Mekkah dan Madina (sebelum datangnya Muhammad saw). Piagam Madina, yang selama ini dijadikan basis argument konsepsi negara Islam, adalah sebuah konsensus dan da’wah simpatik Nabi Muhammad, dalam rangka menurunkan tensi ketegangan antara kelompok pengikutnya yang ada di Madina dan penantangnya ajarannya dari Mekkah pasca nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madina. Dengan demikian, postulat piagaman Madina, bukanlah tonggak sejarah negara Islam (Islam state).   

Tradisi kehidupan nomaden dan fanatisme kesukuan, merupakan faktor-faktor penting dalam kehidupan sosial masyarakat Mekkah-Madina. Dalam konstruksi sosiologis itu, setiap suku memiliki pemimpinnya masing-masing. Masyarakat Mekka dan Madina tak mengenal istilah pemimpin. Demikian pun dalam Al Qur’an, diantara 116 surat Al Qur’an tak satupun ditemukan istilah atau terminologi raja atau penguasa untuk masyarakat Mekka-Madina. Istilah Malik, adalah sebutan al qur’an yang diperuntukkan bagi raja atau penguasa dari negeri lain selain Mekkah-Madina.

Bagi Muhammad saw, problem terbesar dalam relasi sosial dan kehidupan masyarakat Mekkah ketika itu adalah “ketidakadilan dan disparitas antara yang kaya dan miskin. Fanatisme kesukuan, borjuasi kepala-kepala suku dengan faham merkantilisme, adalah patologi sosial akut yang harus didekonstruksi oleh ajaran yang dibawanya (Islam).

Nabi Muhammad saw dimasa-masa itu sadar, bahwa problem Mekka adalah problem struktur sosial yang tak adil dan menindas (despotic). Pendekatan atas problem struktur sosial ini harus didekati secara kultural. Bukan formal. Proses pembongkaran struktur sosial pun tak dilakukan secara radikal, tapi secara gradual dan simpatik. Nilai-nilai ke-islaman ditransformasikan secara perlahan-lahan dalam setiap celah-celah tradisi yang sejalan. Transformasi kesadaran etik dan nilai-nilai kemanusiaan, adalah ujung tombak da’wah yang telah menghela kejayaan Islam dimasa nabi Muhammad, hingga puncak kebangkitan Islam di abad pertengahaan.

Dengan pola ini, menurut Engineer, nabi Muhammad saw tak mencontohkan sebuah praktek kehiduapan bernegara, tapi bermasyarakat. (Halaman : 325). Da’wah yang dilakukan adalah merubah struktur sosial masyarakat Mekkah-Madina dengan strategi yang sangat sosialistis. Dari orang per orang, komunitas hingga melahirkan suatu getaran sosial yang menggerahkan penguasa Mekkah-Madina ketika itu yang terdiri dari pemimpin-pemimpin suku yang borjuistik.

**
Pasca konfrontasi Islam dan Barat di abad ke-19, dan revoluasi minyak diawal dekade 70-an, ummat Islam kembali menapaki jejak kebangkitan politik Islam. Khususnya terkait tumbuhnya kesadaran hubungan Islam dan negara. Disaat yang sama, peradaban Barat yang kian menggeliat dan menggurita di segenap kehidupan mondial, mendorong ummat Islam dunia mencari jati dirinya mengejar keterbelakangan. Keterkejuatan itu menyebabkan tak jarang memaksakan ummat Islam menterjemahkan relasi Islam negara secara serta-merta dan parsial. Termasuk formalisasi syariat Islam dan segala derivasinya yang cenderung latah.

Buku Devolusi Negara Islam, mencoba membedah probelem Islam antara tuntutan formalisme dan probelem kultural Islam. Disatu sisi formalisasi Islam merupakan fenomena, namun ditempat yang lain, gagasan formalisasi syariat tak mendapatkan legitimasi skripturalistik dalam khazanah Islam otentik pada totalitas perjalanan Muhammad saw sebagai basis telaahan.

Membedah kecenderungan mutkahir formalisasi Islam dan segala macam komponen penggerak seperti ISIS, menggerakkan kita untuk kembali menghimpun puing-puing khazanah Islam yang tercecer dan berserahkan begitu saja, hingga menemukan Islam dan pemahaman atasnya yang lebih kulturalistik dan simpatik. Semoga. []  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar