Sabtu, 27 September 2014

Amien Rais; Politisi yang Merakyat, Intelektual yang Shaleh

Resensi oleh : MS
Kilas perjuangan politik Muhammad Amien Rais (MAR), mengantarkan kita pada sosoknya yang idealis, genius, dan negarawan sejati. Dalam bingkai kecandikiaan dan kenegarwanan inilah Amien Rais meletakkan dasar-dasar konsepsi dan idealisme politiknya di tengah-tengah situasi dan kondisi politik nasional yang kronik, akibat  penghancuran dan pelumpuhan sistim demokrasi oleh kekuasaan absolute-personal rezim Orde Baru; dan politik pasca negara orde baru yang neolib.

Langkah poltik MAR yang memiliki magnet ideologi adalah, yang dilakukannya pada sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya (1993). Ketika itu, MAR mulai mengangkat isu pergantian kepemimpinan nasional (suksesi).

Setelah SU MPR 1993 baru, memilih kembali Pak Harto sebagai presiden RI untuk yang ke-6 kalinya. Tentu saja, langkah MAR sangat berani, karena saat itu kata "suksesi kepemimpinan nasional" dianggap “makar dan tindakan subversive”. (halaman xx). 

MAR adalah sosok candikiwan generasi baru--satu angkatan dengan Nur Kholis Majid. Berbeda dengan rekannya yang cenderung sangat akomodasionis terhadap pemerintahan Orde Baru, MAR digolongkan dalam kategori kelompok Islam garis geras (ekstrimis); ekstrim kanan yang turut dihitung Orde Baru. Ideologi politiknya terpisah secara diametral dengan konstruksi negara orde baru.

Selepas menyelesaikan pendidikan di AS, ia kemudian kembali ke tanah air dan aktif menyampaikan gagasan-gagasan besarnya. Baik berkaitan dengan keummatan, kebangbangsaan dan kehidupan politik secara luas, sampai pada persoalan internasional. (halaman 179). 

Ia tak saja bicara di forum-forum Muhammadiyah, tapi juga merambat ruang sosial lain seperti pelajar, pemuda, mahasiswa dan masjid serta forum-forum studi ilmiah. Bahkan ditahun 1980, pemikiran dan gagasan-gagasannya tentang politik, agama bangsa dan negara atau politik pemerintahan, terpublish diberbagai media, baik cetak maupun elektronik serta diberbagai penerbitan.

Amien Rais dimasa-masa itu, tak saja menjadi simbol candikia yang religius, tapi juga karena pemikiran dan pernyataannya yang keras dan bertolak belakang dengan kepentingan rezim, ia diposisikan sebagai simbol perlawanan, ketika masih sedikit orang angkat bicara tentang keadilan. Ketika jumhur intelektual masih mengeramkan ide dan pemikran poltik di bawah kungkungan rezimentasi tirani orde baru. 

Dalam pemikiran relasi agama dan negara, MAR sangat menolak ide sekularisme dan sekularisasi yang dikemukakan Cak Nur. Baginya integrasi agama dan politik adalah kebutuhan politik keummatan. Namun pada dimensi lain terminologi keindonesiaan, ia meletakkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar asas dalam bermasyarakat dan berkelompok.

Hal ini terbukti ketika ia mendirikan PAN, meskipun anggotanya 95% berasal dari kalangan Islam (Muhammadiyah), tapi justru Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas partai. Persepsinya terhdap relasional agama--negara diletakkan pada cara setiap orang atau masyarakat menjalankan tugas kewargaan.

Bagi MAR masyarakat beragama adalah yang menajalankan kehidupan sebagai warga dengan cara yang mulia dan bertujuan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera (Baldatun Tayibatun wa Robbun Gafuur).

Dalam kaitannya dengan relasi agama--negara ini, ia jelaskan bahwa “ gambaran saya mengenai sebuah negara yang melaksanakan Islam adalah suatu negara yang menciptakan masyarakat yang egaliterian, yang para pemimpinnya berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan senantiasa mengeliminir atau setidak-tidaknya meminimalisasi eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya dalam segala bentuk dan manifestasinya. 

Adapun negara itu kita namakan sosialis, pancasilais atau apa saja, bagi saya itu masalah formalisme atau masalah penamaan belaka. Selain itu bagi MAR, suatu negara yang melindungi hak asasi manusia semua warga negara tanpa diskriminasi, maka negara itu telah melaksanakan syari’ah Islam. (halaman : 183). 

Keteguhannnya pada landasan ideal politiklah yang telah mencitrakannya sebagai sosok politisi yang patut diteladani. Terutama konsepsi da’wa yang selama ini diterjemahkannya dalam setiap derap langkah-langkah politiknya. 

Bagi MAR poltik bukan hanya semata permainan, sekedar menang atau kalah, mendapatkan kekuasaan, membangun pengaruh dan kekuatan, menghancurkan pesaing dengan segala cara.

Politik baginya merupakan sebuah amanah untuk mengembangkan kemaslahatan bagi semua orang, maka berpolitik itu bagian dari ibadah atau dakwah dengan tujuan menjalankan nilai-nilai kebenaran yang diperintahkan Tuhan. (halaman 185-186). 

Dalam melihat persoalan kebangsaan dan khususunya Ummat Islam, MAR memiliki cara pandang tersendiri. Menurutnya, problematika ummat tidak hanya pada lapisan akar rumput (grass root), tapi juga lemahnya ukhuwah di lapisan elit, bahkan mungkin kelemahan tauhid. Oleh karena itu, menurutnya, tauhid merupakan fondasi seluruh bangunan ajaran Islam.

Tauhid menurut MAR adalah : kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life). Ini semua merupakan derivasi dari kesatuan Tuhan (unity of godhead). (halaman : 187). 

Dalam persoalan demokrasipun MAR berbicara sangat tegas, bahwa demokrasi meniscayakan adanya chake and balances; mendorong terciptanya tatanan masyarakat civil socaety. Dan dengan ini, masyarakat harus menjadi bagian kekuatan pengontrol yang terus dibiarkan hidup. 

Dengan takaran demokrasi model ini, baginya, segala perilaku yang tak demokratis harus dikoreksi dengan tegas oleh rakyat sebagai jantung demokrasi, apapun bentuknya. Dengan faham demokrasi yang demikianlah yang telah  mendorongnya terus melaju dalam arus poltik nasional. 
Dibeberapa momen penting sejarah perubahan bangsa, ia selalu tampil menjadi sosok yang digandrungi rakyat dan disegani lawan. Mulai dari perannya dalam menggerakan People Power pada gerakan reformasi 1998, dan menjadi icon kekuatan poros tengah yang menyimbolkan kekuatan politisi dari kalangan masyarakat sipil hingga dicalonkannya menjadi presiden pada tahun 2004. 

Membaca buku ini tak saja memperkenalkan kita pada sosok Amien Rais yang genius itu, tapi justru memperkenalkan kita pada suatu kultur poltik ideal yang setiap sisinya mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Bahkan kekuatan moral seorang politisi sekaligus candikia yang religious. Pesan-pesan perjuangan dan demokrasi-nya, tak lekang oleh waktu dan tak lapuk oleh zaman, ia adalah sosok yang patut diteladani. Selamat membaca.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar