Malam itu saya diserang kantuk yang sangat. Di pojok pertigaan Pasar Genjing-Pramuka, saya
menyetop taxi Bluebird. Ketika taxi meminggir, tampang supirnya tersingkap lewat celah jendela mobil yang diturunkannya
sedikit.
Saya mempaerhatikannya sejenak.
Rambutnya beruban, memakai topi cokelat. Tekstur mukanya keriput. Goresan
usianya yang senja, nampak kontras menembus malam sedikit gelap di pojok
pertigaan jalan itu. Tapi air mukanya teduh. Meski
gelombang garis keriput meliuk tak beraturan di
bawah dua
kantung matanya
“Pak, saya mau ke
Cibubur”. Ia mengangguk kecil. Suaranya
sesak. Ketika kaki kanan saya mendarat di taxi, engah napasnya lirih melintas
di telinga. Saya sempat bertanya lagi, “yakin pak
ke Cibubur, lumayan jauh lo pak”. Ia baru mengeluarkan suaranya “insya Allah masih kuat pak”.
Sepanjang jalan, kami tak terlibat
obrolan panjang. Saya berusaha menjaga konsentrasinya karena kami lewat tol
Jagorawi. Jalan tol sepi. Kakinya yang menua, terus tancap gas. Jarum speedometer mematuk angka 80-100. Lumayan kencang.
Ketika keluar tol Cibubur, saya baru
memulai obrolan. “berapa usia bapak?” dengan
suara terang ia menjawab “Saya udah 68,
Alhamdulillah, diusia seperti ini saya jarang sakit dan mata masih terang”.
Memang benar, sepanjang jalan ia tak
cacat sedikitpun mengendarai taxi. Taxi yang dikendarainya melaju kencang.
Nyalip dan mendahului kendaraan lain pun dilakukannya halus.
Saya tak sempat menanyakan namanya.
Sepanjang jalan, ketika keluar tol Cibubur, sambil mengusap dada dengan tangan
kiri, supir tua itu bergumam, “kesehatan diusia
seperti ini, adalah kekayaan dan rahmat Tuhan yang tak henti-hentinya saya
syukuri”.
Kata-katanya yang sederhana itu,
menyungsep ke hati saya. Bahwa semua orang memiliki cara
sendiri-sendiri mengartikan kekayaan.
Di luar sana, jumhur orang mengira,
kekayaan sesuatu yang nampak, dan dapat memuaskan syahwat duniawi. Banyak orang
kaya (materi), mengira kesehatannya sesuatu yang given, lalu dengannya ia mengeksploitasi raganya dengan cara-cara
yang zalim.
Beda dengan supir taxi tua dimalam
itu, kekayaan kesehatan (ragawi), diartikan sebagai sebab ia bersykur pada
Tuhan tanpa henti. Kesehatan diartikan sebagai emanasi wujud kasih Ilahi. Lantas dengannya memompa spiritualitas yang dalam.
Saya menikmati perjalanan ini,
dengan impresi spiritual yang tinggi. Tanpa terasa kami merapat di mall Citra
Grand
Cileungsi. Saya turun dari taxi dan menyodorkan ongkos
taxi Rp. 100.000. Argo taxi dimatikanya dengan kedip
lampu indikator Rp.71.000.
“Kembalinya
untuk bapak, malam ini, saya mendapatkan siraman makna yang dalam dari bapak,
judulnya ; mensyukuri nikmat kesehatan”. Ia lantas menimpali saya, “semoga keikhlasan bapak, memberikan berkah”. Supir
taxi tua, dengan sensitifitas keimanan yang tinggi. Selamat bekerja pak. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar