Jumat, 11 April 2014

2014, Pemilu Beradab Atau Biadab ?


Semua surat suara di 13 TPS atau 325 surat suara sudah tercoblos sebelum dicoblos pemilih. Pukul 16.45, Rabu (9/4/14), kabar itu kami dengar dari desa Banten Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor.


Saya dengar langsung dari lapangan. Bukan dari Koran. Ketika mendengar peristiwa serupa, bu Welya Syahfitri, MSi Caleg DPR-RI dapil V Kabupaten Bogor hanya urut dada.

Tak ada kata-kata yang dikeluarkan. Yang nampak cuma senyum kecut dan sinis menyesali bobroknya moralitas pelaku pemilu.

Sore itu setelah pencoblosan, dari Jakarta, saya ke Bogor untuk ikut bantu memantau beberapa TPS. Kami sekedar menghitung berapa jumlah suara untuk bu Welya di TPS yang menjadi kantong suaranya.


Hingga ba’da Isa, atau sekitar pikul 22.00 WIB, beberapa TPS masih melakukan penghitungan surat suara. Setelah kami cross check di beberapa TPS, suara bu Welya lumayan bagus, di beberapa TPS namanya selalu muncul.Persentasenya fluktuatif di beberapa tempat.

Setelah mendengar kabar dari Ciampea-Bogor, Welya bilang, “kita hanya menunggu takdir politik”. Manusia berulah Tuhan hanya tertawa. Upaya sudah kita lakukan. Dan tak mungkin kita gunakan “otak kiri” menggelembung surat suara seperti di Ciampea.

Malamnya kami menyisir beberapa desa di Kabupaten Bogor. Katanya surat suara sudah diantar ke desa. Saya tak hafal persis nama desa itu, namun setelah 15 menit kami berangkat dari Cilebut (sekitar Stasiun), desa pertama yang kami datangi itu masih diisi beberapa panita.

Tanpa menunggu lama, kami pun bergegas meminta panita melihat suara bu Welya. Namun betapa terkejutnya kami, tanpa beban, panitia pemilu itu bilang, “maaf pak semua formulir C1 dikerjakan di rumah salah seorang panitia pemilu”.

Tanpa oboralan panjang lebar, saya dan beberapa kawan-kawan melanjutkan perjalanan. Kami maklumi saja. Kami kemudian mampir di desa seberang.

Ihwal yang kami temukan setali tiga uang. Tragisnya di belasan TPS, surat suara untuk DPR-RI tak dicoblos. Menurut informasi yang kami dapat langsung dari salah seorang warga setempat, kertas suara DPR-RI ditutup dan tak dicoblos. Yang diberikan ke pemilih hanya surat suara DPRD (provinsi dan kabupaten). Entahlah, ada rencana apa di balik itu. Hanya Tuhan dan panitia yang tahu.

Sepanjang jalan, saya tak habis fikir, alangkah buruknya budaya demokrasi di akar rumput. Konon seluruh peristiwa langkah itu diprovokasi oleh sogokan uang 10-20 ribu rupiah. Alangkah murahnya suara Tuhan itu? Maksudnya suara rakyat.

Saya bilang ke bang U’ul yang menyetir, kalau modelnya begini, rakyat jangan pernah menuntut anggota DPR itu serba ideal. Karena rakyat sendiri yang memilih sampah.

Sampah tetaplah sampah. Meski didaur ulang, asal-muasalnya tetap sampah. Yang dipilih adalah sampah politik.

Sampah itu bekas atau sisa barang yang tak lagi bermanfaat. Daripada menumpuk, lebih baik ke tong sampah. Jadi DPR dengan orang model ini, mentalnya mental sampah.

Fakta-fakta konkret tentang sampah adalah yang kotor dan busuk. Atau politisi kotor dan politisi busuk, hasil pungutan rakyat.

Di Kabupaten Bogor,satu hari satu malam setelah pencoblosan, surat suara itu parkir di kantor desa. Parkir tanpa saksi dan polisi. Kecuali polisi tidur di depan halaman kantor desa.

Caleg bermodal cekak, hanya mengatur nafas di rumah masing-masing, sembari berfikir, diapakan surat suara itu di kantor desa dalam rentang waktu semalaman penuh? Ada konspirasi jahat apa?

Kembali ke rumah, saya sampaikan fakta itu ke bu Welya. Ia hanya bilang, apakah saya harus menjadi wakil rakyat dengan cara jorok? Ogah !

Kata-kata itu tegas terlontar dari mulut bu Welya dengan garis muka teramat murka. Murka pada distorsi moral pemilih dan yang dipilih dengan cara-cara zalim.    

Kebusukan demokrasi model ini sudah sebegitu permisif di ranah politik akar rumput. Bahkan mendapat ruang dan pembiasaan. Istilah serangan fajar saja sudah menjadi komunalisme atau genre politik.
Bahkan rakyat merasakannya sebagai sensasi politik. Maka tak heran tak ada aksi kutukan sadis dalam merespon soal lacur ini.

Bagi rakyat, ini sudah biasa. Ya.. biasa dalam soal siapa makan siapa. Di pemilu rakyat makan caleg, di DPR nanti wakil yang dipilih dengan cara kotor itu makan uang rakyat. Jadi berputar-putar di soal makan-memakan. Ini rantai makanan politik. Bukan siklus demokrasi lima tahunan.

Lalu Negara macam apa yang dibangun dengan demokrasi model ini? Tentu jawabannya, demokrasi makan-memakan.

Aihh..ternyata saya lupa, bahwa peristiwa kotor dan sampah ini tak hanya di TPS dan KPPS, tapi juga sampai di KPU. Kadang kita mengira, KPU ini galeri sulap. Sulap-menyulap suara. Lihat saja nanti. Kalau terjadi juga, ya wassalam.

Dulunya saya kira, pasca rezim orde baru, pesta demokrasi kita (pemilu) semakin beradab. Ternyata tidak ! Tambah biadab. Pemilu 2014, adalah kegilaan demokrasi yang terulang. SADIS !
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar