Dalam matematika, bilangan apapun dikali nol, hasilnya tetap
nol. Betapa hebatnya nol.
Angka nol juga kadang dikira entitas yang ada; tapi
tanpa nilai. Padahal nol adalah suatu digit angka yang digunakan untuk mewakili angka dalam angka. Angka
nol memainkan peranan penting dalam matematika sebagai identitas tambahan bagi bilangan bulat, bilangan real, dan struktur aljabarlainnya.(baca; History of Zero)
Jokowi dan angka nol samanya adalah “ada dalam tiada”. Ia ada
dalam wujud personal. Tapi tiada dalam kinerja, prestasi dan amanah.
Semuanya
serba imaji. Ia adalah produk dari sebuah industrialisme politik neolib, yang melegalkan bazarisasi image dari pada kinerja riil dan
terukur. Dan belum terukur, apalagi secara nasional.
Akhir-akhir ini, nama Jokowi semakin tajam—mengkerucut sebagai the riil presiden. Elektabilitasnya melaju tak terkejar. Namanya ada di setiap sudut kolom media. Di tv, segala lagak-legoknya tak luput dari kamera (Metro TV, tv dan berita satu tv). Metro tv miliknya Surya Paloh (dedengkot Nasdem), dan Berita Satu tv milik James Riyadi, penguasa Lippo Group.
Di tengah ramainya penolakan Jokowi; dan berita soal ia tak amanah
sebagai gubernur DKI, tiba-tiba metro tv meliput apik Jokowi yang ikut menggaruk
lumpur di kali. Judul beritanya ; meski nyapres,
Jokowi tetap menjalankan tugas sebagai gubernur. Sebegitu lebbai-nya metro
tv.
Di jejaring sosial (facebook),
ada yang berseloroh; “bosan, Jokowi lagi…… Jokowi lagi…….masih banyak kok
kepala daerah yang lebih berprestasi, kenapa cuma Joko saja yang nongol di tv”.
Ada yang comment “ini bukan menyorot prestasi,
tapi meliput siapa yang membayar”.
Seringnya Jokowi di tv, dengan lagak setengah serius,
mengingatkan saya soal diskursus dunia hyperealitas pasca masyarakat moderen.
Suatu dunia yang memaksa manusia kikuk,
atas hegemoni angan-angan dan fantasi. Jokowi kini, menjadi pemilik imajinasi politik rakyat.
Hegemoni itu memaksa manusia terinstitusi dalam sebuah alam
imajiner yang serba hyperalistik. Imajinasi manusia dijejali, dibajak dan
dicekoki kepalsuan informasi. Informasi dikemas dengan berita muslihat. Rakyat
dipaksa menonton putaran kebohongan.
Ikhwal alam digital dimaksud, telah membuat perkelanaan
manusia pada sosok yang dikiranya asli tapi palsu, dan dikira faktual tapi
absurd. menstir futurolog Alvin
Toffler; katanya “masyarakat pasca moderen, adalah orang-orang
yang tengah mendaki ke titik puncak absurditas”. Semakin ke puncak semakin
mengalami kehampaan; kembali ke titik nol. Dan kini kita telah mengalami absurditas,
sejak dua kali pemilu (2004&2009-SBY) dan kini (2014-Jokowi)
Pemilihan umum 2014 dan Jokowi yang heboh di udara itu,
menderek alam fikir kita dan bertanya, Jokowi adalah sebuah entitas faktual
atau sosok imajiner yang tak pernah (akan) mengalami objektifikasi.
Pelan-pelan, semakin ke sini ia (jokowi) semakin sulit
dijamah realitas konkretnya. Ia hanya sebuah imaji publik yang berserakan
begitu saja oleh pasar kumuh media-media bayaran. Jokowi dikali nol…soal yang belum
selesai dijawab. Wallahu'alam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar