Rabu, 10 Desember 2014

Revolusi Tarif Tenaga Listrik Kabinet Jokowi

Menteri ESDM menerbitkan peraturan menteri (Permen) ESDM Nomor 31 Tahun 2014 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan PLN. Dalam Permen tersebut mengatur tentang penyesuaian tarif yang akan mengacu pada tiga indikator,  yaitu kurs rupiah, harga minyak dan inflasi. Sebelum berita ini turun, teman wartawan saya Lolita sempat email, kira-kira isinya begini :

Mas...ini saya punya data, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 31 Tahun 2014 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan PLN.

Dalam Permen tersebut mengatur tentang penyesuaian tarif yang akan mengacu pada tiga indikator, yaitu kurs rupiah, harga minyak dan inflasi. Kok bisa ya...padahal sumber energi kita ga cuma pake minyak. Apa sudah tepat dan kondusif bila kurs rupiah terhadap dolla AS sebagai TTL saat ini?

Bukannya trend rupiah kita terhadap dollar AS akan sulit turun ke level 9000-10.000/USD, apa itu artinya harga minyak akan terus naik untuk sektor industri? Gila ga mas? Kalau itu kelak membebani biaya produksi industri. Bagaimana jika banyak industri yang guling tikar? Apakah pemerintahan Jokowi sudah siap menghadapi itu?

Pertanyaannya, apakah menteri ESDM sadar saat membuat Permen tersebut? Apakah Permen tersebut tak berkaca pada pelemahan makro ekonomi kita, dimana kurs rupiah yang terus terpuruk hingga menyentuh level 12. 300, 00/USD?  Artinya, TTL terus berpotensi naik sepanjang 2014?

Apa menteri ESDM lupa, titik terendah kurs rupiah terhadap USD agak sulit kembali ke level Rp.9000-10.000 per USD.Kurs rupiah bisa turun, tapi nanti di tahun lebaran monyet. Itu sulit terjadi ! Artinya trend nilai tukar rupiah akan terus terkerek dan bertahan di titik tengah (di kisaran Rp 12. 000/USD). Lalu dengan begitu, apakah TTL akan naik terus sesuai nilai kurs Rp terhadap USD?

Keganjilan kedua, kenapa Permen ESDM tersebut menerangkan bahwa seolah-olah semua sumber energi PLN menggunakan minyak? Apakah Permen tersebut lupa, bahwa lifting gas, sudah masuk sebagai salah satu indikator makro okonomi nasional dalam APBN?

Kalau idikator Permen ESDM itu hanya menggunakan minyak, mestinya saat ini TTL harus turun, harga ICP lagi turun hinga menyentuh 70 US$ per barrel. Dengan turunnya ICP sebagai indikator TTL, maka mestinya pemerintah sudah menurunkan TTL! Apa alasannya?

Bukannya pemerintah untung dengan harga ICP yang terus melandai? Ini saya kutip statemen Gde Pradyana (Sekretaris SKK Migas) di detik finance bulan oktober 204, “Kita lebih banyak impor minyak mentah dan BBM daripada produksi minyak mentah dan BBM, maka dampaknya justru akan bagus bila harga minyak mentah dunia turun,"

Lebih lanjut menurut Gde, turunnya harga minyak tersebut membuat impor minyak dan BBM jadi lebih murah. Kalau begitu adanya, kapan TTL diturunkan pemerintah sesuai Permen ESDM tersebut?

Terlepas dari itu, Permen ESDM yang ganjil ini membuat palaku usaha mulai gerah. Pelaku usaha mulai mencurigai, bahwa hal ini hanya sebagai upaya PLN dan pemerintah untuk mendapatkan pemasukan yang besar dari sektor industri. Namun jika ini terus dipaksakan, mau tidak mau banyak industri yang akan tutup.

Tapia apa iya harga minyak mentah dunia menjadi indikator TTL sudah tepat? Sementara sumber energi PLN tak cuma minyak.Saat ini diperkirakan, 88% pembangkit listrik masih menggunakan bahan bakar fosil, terdiri dari 44% batubara, 23%, solar, 21%, gas alam dan energi seperti panas bumi, matahari, hidro (air) dan lainnya, 13,7%. Angka ini jelas tak sebanding dengan pembangkit listrik menggunakan sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, matahari, hidro (air) dan lainnya, yang hanya 13,7% (Sumber : kementerian ESDM).

Dengan sumber energi yang tak hanya minyak ini, maka adalah sesuatau yang jangkal, bila Permen itu menggunakan harga minyak mentah dunia sebagai indikator harga TTL. Ada baiknya kita merenungkan statemen  Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, bahwa mungkin PLN mau mengeruk untung sebanyak-sebanyaknya dari kegiatan ekonomi yang ada. Tetapi saya jamin itu tidak akan terjadi karena industri akan tutup sehingga tidak ada industri yang bisa beri pemasukan.

Dan ada baiknya juga mari kita renungkan hasil temuan BPK dalam iktisar laporan keuangannya semester I 2014, bahwa PLN menduduki peringkat pertama sepanjang tahun 2013, sebagai BUMN yang melakukan mark up terhadap klaim subsidinya dengan nilai. Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2014, nilai subsidi energi 2013 yang diklaim PT Perusahaan Listrik Negara dan PT Pertamina mencapai Rp340,88 triliun, atau kelebihan Rp5,64 triliun dari audit BPK sebesar Rp335,24 triliun. Sungguh terlalu PLN !










Tidak ada komentar:

Posting Komentar