Menteri
ESDM menerbitkan peraturan menteri (Permen) ESDM
Nomor 31 Tahun 2014 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan PLN. Dalam
Permen tersebut mengatur tentang penyesuaian tarif yang akan mengacu pada tiga
indikator, yaitu kurs rupiah, harga
minyak dan inflasi. Sebelum berita ini turun, teman wartawan saya Lolita sempat
email, kira-kira isinya begini :
Mas...ini
saya punya data, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan
Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 31 Tahun 2014 tentang tarif tenaga
listrik yang disediakan PLN.
Dalam Permen
tersebut mengatur tentang penyesuaian tarif yang akan mengacu pada tiga indikator,
yaitu kurs rupiah, harga minyak dan inflasi. Kok bisa ya...padahal sumber
energi kita ga cuma pake minyak. Apa sudah tepat dan kondusif bila kurs rupiah terhadap
dolla AS sebagai TTL saat ini?
Bukannya
trend rupiah kita terhadap dollar AS akan
sulit turun ke
level 9000-10.000/USD, apa itu artinya harga
minyak akan terus naik untuk sektor industri? Gila ga mas? Kalau itu kelak
membebani biaya produksi industri. Bagaimana jika banyak industri yang guling
tikar? Apakah pemerintahan Jokowi sudah siap menghadapi itu?
Pertanyaannya,
apakah menteri ESDM sadar saat membuat Permen tersebut? Apakah Permen tersebut
tak berkaca pada pelemahan makro ekonomi kita, dimana kurs rupiah yang terus
terpuruk hingga menyentuh level 12. 300, 00/USD? Artinya, TTL terus berpotensi naik sepanjang
2014?
Apa menteri
ESDM lupa, titik terendah kurs rupiah terhadap USD agak sulit kembali ke level
Rp.9000-10.000 per USD.Kurs
rupiah bisa turun, tapi nanti di tahun lebaran monyet. Itu sulit
terjadi ! Artinya trend nilai tukar rupiah akan terus terkerek dan bertahan di
titik tengah (di kisaran Rp 12. 000/USD). Lalu dengan
begitu, apakah TTL akan naik terus sesuai nilai kurs Rp terhadap USD?
Keganjilan
kedua, kenapa Permen ESDM tersebut menerangkan bahwa seolah-olah semua sumber
energi PLN menggunakan minyak? Apakah Permen tersebut lupa, bahwa lifting gas, sudah masuk sebagai salah
satu indikator makro okonomi nasional dalam APBN?
Kalau
idikator Permen ESDM itu hanya menggunakan minyak, mestinya saat ini TTL harus
turun, harga ICP lagi turun hinga menyentuh 70 US$ per barrel. Dengan turunnya
ICP sebagai indikator TTL, maka mestinya pemerintah sudah menurunkan TTL! Apa
alasannya?
Bukannya
pemerintah untung dengan harga ICP yang terus melandai? Ini saya kutip statemen
Gde Pradyana (Sekretaris SKK Migas) di detik finance bulan oktober 204, “Kita lebih banyak impor minyak mentah dan BBM daripada produksi minyak
mentah dan BBM, maka dampaknya justru akan bagus bila harga minyak mentah dunia
turun,"
Lebih lanjut menurut Gde, turunnya harga
minyak tersebut membuat impor minyak dan BBM jadi lebih murah. Kalau begitu
adanya, kapan TTL diturunkan pemerintah sesuai Permen ESDM tersebut?
Terlepas dari itu, Permen ESDM yang
ganjil ini membuat palaku usaha mulai gerah. Pelaku usaha mulai mencurigai,
bahwa hal ini hanya sebagai upaya PLN dan
pemerintah untuk mendapatkan pemasukan yang besar dari sektor industri. Namun
jika ini terus dipaksakan, mau tidak mau banyak industri yang akan tutup.
Tapia apa iya harga minyak mentah dunia menjadi
indikator TTL sudah tepat? Sementara sumber energi PLN tak cuma minyak.Saat ini diperkirakan, 88% pembangkit listrik masih menggunakan bahan bakar fosil,
terdiri dari 44% batubara, 23%, solar, 21%, gas alam dan energi seperti panas
bumi, matahari, hidro (air) dan lainnya, 13,7%. Angka ini jelas tak sebanding
dengan pembangkit listrik menggunakan sumber energi terbarukan, seperti panas
bumi, matahari, hidro (air) dan lainnya, yang hanya 13,7% (Sumber : kementerian
ESDM).
Dengan sumber energi yang tak hanya
minyak ini, maka adalah sesuatau yang jangkal, bila Permen itu menggunakan
harga minyak mentah dunia sebagai indikator harga TTL. Ada baiknya kita merenungkan
statemen Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, bahwa mungkin PLN mau mengeruk untung
sebanyak-sebanyaknya dari kegiatan ekonomi yang ada. Tetapi saya jamin itu
tidak akan terjadi karena industri akan tutup sehingga tidak ada industri yang
bisa beri pemasukan.
Dan ada baiknya juga mari kita renungkan
hasil temuan BPK dalam iktisar laporan keuangannya semester I 2014, bahwa PLN
menduduki peringkat pertama sepanjang tahun 2013, sebagai BUMN yang melakukan
mark up terhadap klaim subsidinya dengan nilai. Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2014, nilai
subsidi energi 2013 yang diklaim PT Perusahaan Listrik Negara dan PT Pertamina
mencapai Rp340,88 triliun, atau kelebihan Rp5,64 triliun dari audit BPK sebesar
Rp335,24 triliun. Sungguh terlalu PLN !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar