Selasa, 12 Agustus 2014

Sebentar di Kota Ambon

Dari atas pesawat, saya saksikan alam Ambon yang hijau. Awan cukup tebal, kencangnya angin terlihat dari atas pesawat dan pecahan gelombang di pulau seberang Ambon. Ketika pesawat mendarat, nampak landasannya basah akibat curah hujan. Dari balik jendela pesawat, nampak dinding tarminal (ruang tunggu) terlukis apik motif tenun Ambon.

Meski tak mengerti filosofi ukurian-ukiran lokal itu, tapi saya percaya, dimana-mana pemerintah daerah selalu membangun brand image-nya dengan motif-motif lokal di ruang-ruang publik semisal Airport. Ukiran itu sekaligus meyakinkan saya dan mungkin orang-orang baru lainnya, bahwa kota ini (Ambon) punya akar nilai yang kuat pada produk nilai-nilai etik para leluhurnya.


Di dalam ruangan Airport, telinga saya langsung dihibur lagu Maher Zain. Saya berulang-ulang berfikir, momentum apa yang bisa menghadirkan lagu impor itu? Akhirnya saya sedikit mengerti, bahwa momentum lebaran masih memberikan sisah aurah religius di Airport Ambon. Yang jelas, menurut teman saya (Zainal), hal yang sama dilakukan di musim natal dan hari-hari besar agama lain. Inilah wajah baru kota Ambon yang jauh lebih madani.

Hampir 15 menit kami menunggu mobil jemputan (rental) yang sudah kami booking sejak dari Jakarta. Meski tiba di Ambon jam pukul 15.00 WIT, rasa lapar belum menyengat. Mungkin suasana lambung masih terbiasa dengan waktu jam makan di Jakarta. Sepanjang jalan, urat leher saya cukup lelah, karena harus terus menoleh ke kanan dan kiri. Melihat setiap sisi dari kota Ambon sepanjang jalan.Tentu keindahan kotanya tak bisa ditawar.

Memang jarak tempuh dari Airport ke Hotel tempat kami menginap cukup jauh; 40 km. Kira-kira 1 jam perjalanan. Tapi sepanjang itu pula, mata saya dimanjakan alam Ambon yang menggoda. Hutannya masih hijau. Jalannya (aspal) licin. Bangunan tertata rapi. Dari Airport ke Hotel, kami terus menyisiri pantai. Kapal-kapal yang berlabuh ; berjejer–rapi, mengurai sisi lain keindahan kota Ambon.

Tadinya saya berfikir, dari sisi Airport, kota Ambon ada di sebarang. Terputus dari Airport. Tapi setelah di jalan, saya baru tahu, bahwa Airport dan Pusat Kota masih satu daratan. Cuma untuk ke pusat kota, kita harus mutar seperti melingkari huruf “U”.

Kalau ke pusat kota Ambon dengan kapal cepat, tentu tak memakan banyak waktu, karena tinggal menyebrang sebentar dari Airport. Setelah melewati beberapa tempat, saya baru lihat, ada pembangunan jembatan yang menghubungkan kota Galala Ambon dan Poka (daerah airport).

Baru sehari di Ambon, gairah saya terus dipompa oleh keramaian warung kopi yang padat-merayap oleh para pengunjung. Namun karena hujan, kami tak bisa melahap bebas berbagai tempat-tempat unik di Kota Ambon. Satu-satunya tempat yang membuat passion saya membumbung adalah resto kuliner laut “Sari Gurih”.

Letaknya tak begitu jauh dari Swiss Bel Hotel. Cukup jalan kaki kita sudah sampai di resto Sari Gurih. Sajian kuliner laut dengan bumbu khas rempa-rempa Ambon, sudah bisa membuat saya melupakan semua kepenatan. Hujan dengan udara yang cukup dingin segerah terhangatkan dengan hangatnya kuah kuning khas Ambon. Dan juga menu penutup ;kasbi goreng plus sambal (colo-colo).

Melihat Kota Ambon dari ketinggian Swiss Bel Hotel dimalam hari, seakan menyandingkan keindahan kota Ambon dengan kota latin Costa-Rica. Kota di Pinggir Pantai dan formasi pembangunan separuh kota di atas dataran tinggi dan jejeran pusat perbelanjaan dan hotel di daerah pantai. Sebentar di Ambon terasa belum puas, ingin mencobanya berulang-ulang. Kapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar