Selasa, 29 Juli 2014

Kepanikan Tim Ekonomi Jokowi, Harga BBM dikatrol Naik 40%



Tim ekonomi Jokowi mengusulkan BBM naik 40% (baca : tim ekonomi Jokowi-liputan6). Seperti tulisan saya sebelumnya, diperkirakan BBM pasti naik. Menimbang anggaran subsidi energi yang tiap tahun terus membebani APBN.

Kalau menaikan BBM 40% ini solusi jangka pendek, tentu sangat membahayakan, menimbang terlalu dini dan instan mengambil solusi. Pemerintahan Jokowi-JK harus berfikir kuat dan cerdas mengimbangi beban anggaran subsidi, tanpa harus ngutang dan serta-merta menaikan harga BBM. Hemat saya, duo saudagar ini pasti bisa !


Paling tidak, pemerintahan Jokowi mulai berfikir dan berinisiasi menggenjot produksi  lifting  minyak dalam negeri, agar tidak bergantung pada minyak impor; dengan merevitalisasi sumur-sumur minyak tua dan membangun sumur minyak baru. Bukan grasak-grusuk mendorong kenaikan harga BBM 40%.

Seperti tulisan saya sebelumnya ; utang nggaran subsidi energi senilai Rp. 50 triliun yang di-carry over ke 2015, ini menjadi beban fiskal cukup berat bagi pemerintahan baru. Belum lagi menghadapi beban anggaran subsidi energi serta potensi kebocorannya di tahun aktual (2015) yang juga akan membuat fiskal kita tak sehat dan ekspansif. Artinya, presiden baru harus cerdas, punya visi ekonomi yang bernas. Bukan baru pagi buta sudah mau memangkas anggaran subsidi energi dan menaikan harga BBM.  

Tentu ini kepanikan, karena bicara soal pemotongan anggaran subsidi energi tidak an sich menaikan harga BBM (apalagi hingga 40%). Bila terjadi ketimpangan penerimaan negara dan belanja akibat pembengkakan anggaran subsidi energi, tentu yang difikirkan adalah menggali sumber penerimaan lain di luar pajak. Mengoptimalkan APBN. Tugas pemerintahan baru adalah “bekerja dan bekerja” itu kata-kata Jokowi. Termasuk bekerja menggali sumber penerimaan negara untuk mengganjal fiskal agar tidak tergelincir ke lubang defisit yang melebar akibat beban subsidi energi. Mau tak mau harus bisa !  Jokowi-JK harus bikin revolusi fiskal !

Kalau BBM harus naik, maka tak ada bedanya pemerintahan Jokowi-JK dan pemerintahan sebelumnya. Yang kita tangkap, rencana menaikan BBM 40% adalah bukti lemahnya paradigma ekonomi. Khususnya pandangan terkait  kesehatan fiskal. Dari debat pilpres 2014 di sesi ekonomi, saya sama sekali tak melihat, visi Jokowi tentang penyehatan fiskal. Yang disampaikan cuma belanja ini dan itu, tapi tak disebut sumber anggarannya dari mana?

Saya kira kelalaian pemerintah sebelumnya adalah; lemahnya manajemen pengendalian lapangan, akibatnya potensi kebocoran BBM subsidi tak tepat sasaran yang terus terjadi. Tentu Jokowi tak mengulangi kesalahan yang sama dan berfikir jauh lebih luas.  

Jokowi pun harus mulai berfikir; bahwa anggaran APBN yang tiap tahun disunat Rp 60-80 triliun untuk utang bunga rekap oblogasi BLBI sejak era presiden asal PDIP Megawati itu di-review, bila tak memberikan insentif apa-apa bagi penyehatan fiskal. Ini salah satu contoh berfikir luas dan tepat sasaran.  

Bila perlu DPR periode 2014-2019 membuat pansus BLBI, agar ke depan fiskal kita ekspansif dan tidak terbebani utang masa lalu para maling perbankan. Saya kira sederhana saja, utang bunga rekap obligasi ini, bisa menutup utang subsidi energi yang di-carry over ke tahun 2015 sebesr Rp 50 triliun dan selanjutnya untuk tahun-tahun berikut.

Saya kira seperti anggapan umum, semua menjadi mudah bila di tangan Jokowi; seperti yang dicitrakan. Demikian pun Jokowi yang selalu sesumbar mengatakan “itu tidak sulit dan mudah saja”.

Tapi lagi-lagi rencana kenaikan BBM subsidi ini, akan membuat kepanikan iklim pasar (gejolak pasar) dalam negeri. Biaya produksi dan distribusi akan ikut terprovokasi, harga kebutuhan pokok ikut terkerek. Inflasi sudah pasti. Biaya sosial politik pun tentu mahal.

Penghematan anggaran subsidi yang mestinya dipakai untuk belanja infrastruktur terpaksa dipakai sebagai bantalan anggaran mengantisipasi dampak turunan akibat kenaikan harga BBM. Belum lagi ongkos pencitraan pemerintahan Jokowi  menangkal hujatan publik akibat kenaikan harga BBM.

Saya sudah membayangkan, seperti apa kata-kata, dan gestur wajah Jokowi menjawab pertanyaan wartawan, kenapa anggaran subsidi untuk rakyat dikurangi, atau dihilangkan? Kenapa harga BBM naik hingga 40%? Kenapa harga sembako ikut terkerek? Bisa saja Jokowi beralibi, itu kesalahan pemerintah sebelumnya ! Mungkin ?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar