Tim
ekonomi Jokowi mengusulkan BBM naik 40% (baca
: tim ekonomi Jokowi-liputan6). Seperti tulisan saya sebelumnya, diperkirakan
BBM pasti naik. Menimbang anggaran subsidi energi yang tiap tahun terus
membebani APBN.
Kalau
menaikan BBM 40% ini solusi jangka pendek, tentu sangat membahayakan, menimbang
terlalu dini dan instan mengambil solusi. Pemerintahan Jokowi-JK harus berfikir
kuat dan cerdas mengimbangi beban anggaran subsidi, tanpa harus ngutang dan serta-merta menaikan harga
BBM. Hemat saya, duo saudagar ini
pasti bisa !
Paling tidak, pemerintahan Jokowi mulai berfikir dan berinisiasi menggenjot produksi lifting minyak dalam negeri, agar tidak bergantung pada minyak impor; dengan merevitalisasi sumur-sumur minyak tua dan membangun sumur minyak baru. Bukan grasak-grusuk mendorong kenaikan harga BBM 40%.
Seperti
tulisan saya sebelumnya ; utang nggaran subsidi energi senilai Rp. 50 triliun yang di-carry over ke 2015, ini menjadi beban fiskal cukup berat bagi
pemerintahan baru. Belum lagi menghadapi beban anggaran subsidi energi serta
potensi kebocorannya di tahun aktual (2015) yang juga akan membuat fiskal kita tak
sehat dan ekspansif. Artinya,
presiden baru harus cerdas, punya visi ekonomi yang bernas. Bukan baru pagi
buta sudah mau memangkas anggaran subsidi energi dan menaikan harga BBM.
Tentu
ini kepanikan, karena bicara soal pemotongan anggaran subsidi energi tidak an sich menaikan harga BBM (apalagi
hingga 40%). Bila terjadi ketimpangan penerimaan negara dan belanja akibat
pembengkakan anggaran subsidi energi, tentu yang difikirkan adalah menggali
sumber penerimaan lain di luar pajak. Mengoptimalkan APBN. Tugas pemerintahan
baru adalah “bekerja dan bekerja” itu kata-kata Jokowi. Termasuk bekerja
menggali sumber penerimaan negara untuk mengganjal fiskal agar tidak
tergelincir ke lubang defisit yang melebar akibat beban subsidi energi. Mau tak
mau harus bisa ! Jokowi-JK harus bikin
revolusi fiskal !
Kalau
BBM harus naik, maka tak ada bedanya pemerintahan Jokowi-JK dan pemerintahan
sebelumnya. Yang kita tangkap, rencana menaikan BBM 40% adalah bukti lemahnya
paradigma ekonomi. Khususnya pandangan terkait
kesehatan fiskal. Dari debat pilpres 2014 di sesi ekonomi, saya sama
sekali tak melihat, visi Jokowi tentang penyehatan fiskal. Yang disampaikan cuma
belanja ini dan itu, tapi tak disebut
sumber anggarannya dari mana?
Saya
kira kelalaian pemerintah sebelumnya adalah; lemahnya manajemen pengendalian
lapangan, akibatnya potensi kebocoran BBM subsidi tak tepat sasaran yang terus
terjadi. Tentu Jokowi tak mengulangi kesalahan yang sama dan berfikir jauh
lebih luas.
Jokowi
pun harus mulai berfikir; bahwa anggaran APBN yang tiap tahun disunat Rp 60-80
triliun untuk utang bunga rekap oblogasi BLBI sejak era presiden asal PDIP
Megawati itu di-review, bila tak
memberikan insentif apa-apa bagi penyehatan fiskal. Ini salah satu contoh
berfikir luas dan tepat sasaran.
Bila perlu
DPR periode 2014-2019 membuat pansus BLBI, agar ke depan fiskal kita ekspansif
dan tidak terbebani utang masa lalu para maling perbankan. Saya kira sederhana
saja, utang bunga rekap obligasi ini, bisa menutup utang subsidi energi yang
di-carry over ke tahun 2015 sebesr Rp 50 triliun dan selanjutnya untuk
tahun-tahun berikut.
Saya
kira seperti anggapan umum, semua menjadi mudah bila di tangan Jokowi; seperti
yang dicitrakan. Demikian pun Jokowi yang selalu sesumbar mengatakan “itu tidak
sulit dan mudah saja”.
Tapi
lagi-lagi rencana kenaikan BBM subsidi ini, akan membuat kepanikan iklim pasar
(gejolak pasar) dalam negeri. Biaya produksi dan distribusi akan ikut
terprovokasi, harga kebutuhan pokok ikut terkerek. Inflasi sudah pasti. Biaya
sosial politik pun tentu mahal.
Penghematan
anggaran subsidi yang mestinya dipakai untuk belanja infrastruktur terpaksa
dipakai sebagai bantalan anggaran mengantisipasi dampak turunan akibat kenaikan
harga BBM. Belum lagi ongkos pencitraan pemerintahan Jokowi menangkal hujatan publik akibat kenaikan harga
BBM.
Saya
sudah membayangkan, seperti apa kata-kata, dan gestur wajah Jokowi menjawab
pertanyaan wartawan, kenapa anggaran subsidi untuk rakyat dikurangi, atau
dihilangkan? Kenapa harga BBM naik hingga 40%? Kenapa harga sembako ikut
terkerek? Bisa saja Jokowi beralibi, itu kesalahan pemerintah sebelumnya !
Mungkin ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar