Kamis, 24 Juli 2014

“Petugas Partai” Disandera Korupsi


Mega skandal BLBI, indikasi korupsi di balik penjualan asset kala Megawati berkuasa, tak luput menggelincirkan pemerintah setelahnya dalam  kubangan utang yang tak putus-putus. Pun bertenggernya PDIP di peringkat ke-1 versi ICW sebagai partai ter-korup, ikut memantik rasa heran kita, bahwa masih oposisi saja PDIP bisa begitu korup, apalagi berkuasa? Teman saya yang golput pernah ketus “ini DPIP, tiap saat kritik pemerintah, tapi ikutan korupsi proyek pemerintah, diperingkat ke-2 terkorup pula, alamak... peening palaku dibuatnya  !”

Ini tabiat korupsi yang cukup langkah untuk partai oposisi. Kritik pemerintah di depan wartawan tapi menggarong dari belakang. Setali tiga uang dengan “pencitraan korupsi”. Belum cuma itu, kita juga sontak terperangah,  mendengar dan membaca koran, bahwa si bendahara umum PDIP (Olly Dodokambe) diduga ikut menelan uang haram Rp.2,5 dari kasus Hambalang.


Dan yang paling anyar, petugas partai; capres terpilih periode 2014-2019, ditengarai punya andil (melakukan pembiaran) dalam korupsi bus Trans Jakarta berkarat dan terkait beberapa dugaan korupsi selama menjabat walikota Solo (Baca : Proyek VIDEOTRON Manahan Solo dan BPMKS). Klarifikasi jubir KPK Johan Budi, tentang Jokowi yang tak pernah melapor korupsi bus karat impor ke KPK, ikut membuat kita geleng kepala heran. Ada apa?

Track record buruk dalam pengelolaan keuangan DKI Jakarta berdasarkan audit BPK (2013), ikut menggerus ekpektasi kita, tentang masa depan pemerintahan yang bersih di tangan Jokowi-JK. Tak sedikit orang yang pesimis ! Pasalnya, mengurus kartu Jakarta sehat dan pintar untuk warga Jakarta saja sudah merugikan keuangan daerah miliaran rupiah, apalagi untuk 240 juta penduduk Indonesia? Meminjam istilah JK “bisa rusak negara ini.”

Belum lagi indikasi tindak pidana pencucian uang (money loundering) yang melibatkan putra sulung capres 2014 terpilih (Jokowi), ikut melumer harapan kita tentang pemerintahan yang bersih di sekitar istana nanti. Dan kita percaya, bahwa korupsi selalu datang dari orang dekat penguasa (anak,istri dan kolega). Nama Bimo (tim sukses Jokowi) di Pilkada Solo dan DKI, adalah misteri yang terus menggelinding seputar borok korupsi bus Trans Jakarta yang melibatkan kolega Jokowi.   

Belakangan digadang-gadang, Presiden terpilih, sekaligus petugas partai yang dicitrakan sederhana dan berlatar keluarga papah itu, menimbun 32 rekeing di luar negeri (baca : 32 rekening Jokowi). Ada apa? Dus, paham nasionalis yang berbusa-busa dipidatokan, seakan palsu saja bila benar Jokowi menimbun uang juataan dollar  di luar negeri.

Pertanyaan agak serius adalah, akankah suatu pemerintahan bersih, bisa terwujud dengan pemimpin yang lahir dari suatu kultur dan sistim politik yang kotor dan kemaruk? Pertanyaan ini tak saja mengusik kita, tapi juga menampik harapan kita tentang perjalanan pemerintah lima tahun ke depan yang bersih dan bebas korupsi.

Ongkos pencitraan yang besar, sejak mobil SMK bodong hingga ongkos pencitraan pilpres 2014, tentu menelan dana miliar, bahkan triliunan. Apalagi bila dikonformasi, Jokowi cumalah seorang mantan Walikota dan Gubernur yang sederhana dan kere.  Tapi anehnya punya gelembung ongkos politik yang tambun.  

Kabar keterlibatan para taipan semisal James Riyadi, Antoni Salim cs sebagai founding Jokowi-JK, sulit ditampik. Dan disinilah cikal bakal penyanderaan korupsi episode kedua bermula.

Saya percaya pada adagium Milton Friedman “tak ada makan siang gratis.” Demokrasi liberal yang mengandaikan politik sebagai industri, selalu meniscayakan investasi politik sebagai business area yang menjanjikan dan benefit, karena disinilah (menguasai politik) apa saja bisa ditelan.  Termasuk menelan pemerintahan Jokowi-JK sekalipun. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar