Mega
skandal BLBI, indikasi korupsi di balik penjualan asset kala Megawati berkuasa,
tak luput menggelincirkan pemerintah setelahnya dalam kubangan utang yang tak putus-putus. Pun bertenggernya
PDIP di peringkat ke-1 versi ICW sebagai partai ter-korup, ikut memantik rasa heran
kita, bahwa masih oposisi saja PDIP bisa begitu korup, apalagi berkuasa? Teman
saya yang golput pernah ketus “ini DPIP, tiap saat kritik pemerintah, tapi
ikutan korupsi proyek pemerintah, diperingkat ke-2 terkorup pula, alamak...
peening palaku dibuatnya !”
Ini
tabiat korupsi yang cukup langkah untuk partai oposisi. Kritik pemerintah di depan
wartawan tapi menggarong dari belakang. Setali tiga uang dengan “pencitraan
korupsi”. Belum cuma itu, kita juga sontak terperangah, mendengar dan membaca koran, bahwa si bendahara
umum PDIP (Olly Dodokambe) diduga ikut menelan uang haram Rp.2,5 dari kasus
Hambalang.
Dan yang paling anyar, petugas partai; capres terpilih periode 2014-2019, ditengarai punya andil (melakukan pembiaran) dalam korupsi bus Trans Jakarta berkarat dan terkait beberapa dugaan korupsi selama menjabat walikota Solo (Baca : Proyek VIDEOTRON Manahan Solo dan BPMKS). Klarifikasi jubir KPK Johan Budi, tentang Jokowi yang tak pernah melapor korupsi bus karat impor ke KPK, ikut membuat kita geleng kepala heran. Ada apa?
Track record buruk dalam
pengelolaan keuangan DKI Jakarta berdasarkan audit BPK (2013), ikut menggerus
ekpektasi kita, tentang masa depan pemerintahan yang bersih di tangan Jokowi-JK.
Tak sedikit orang yang pesimis ! Pasalnya, mengurus kartu Jakarta sehat dan
pintar untuk warga Jakarta saja sudah merugikan keuangan daerah miliaran
rupiah, apalagi untuk 240 juta penduduk Indonesia? Meminjam istilah JK “bisa
rusak negara ini.”
Belum
lagi indikasi tindak pidana pencucian uang (money
loundering) yang melibatkan
putra sulung capres 2014 terpilih (Jokowi), ikut melumer harapan kita tentang
pemerintahan yang bersih di sekitar istana nanti. Dan kita percaya, bahwa korupsi
selalu datang dari orang dekat penguasa (anak,istri dan kolega). Nama Bimo (tim
sukses Jokowi) di Pilkada Solo dan DKI, adalah misteri yang terus menggelinding
seputar borok korupsi bus Trans Jakarta yang melibatkan kolega Jokowi.
Belakangan
digadang-gadang, Presiden terpilih, sekaligus petugas partai yang dicitrakan
sederhana dan berlatar keluarga papah itu, menimbun 32 rekeing di luar negeri (baca : 32 rekening Jokowi). Ada apa? Dus, paham nasionalis yang berbusa-busa
dipidatokan, seakan palsu saja bila benar Jokowi menimbun uang juataan dollar di luar negeri.
Pertanyaan
agak serius adalah, akankah suatu pemerintahan bersih, bisa terwujud dengan
pemimpin yang lahir dari suatu kultur dan sistim politik yang kotor dan
kemaruk? Pertanyaan ini tak saja mengusik kita, tapi juga menampik harapan kita
tentang perjalanan pemerintah lima tahun ke depan yang bersih dan bebas korupsi.
Ongkos
pencitraan yang besar, sejak mobil SMK bodong hingga ongkos pencitraan pilpres
2014, tentu menelan dana miliar, bahkan triliunan. Apalagi bila dikonformasi, Jokowi
cumalah seorang mantan Walikota dan Gubernur yang sederhana dan kere. Tapi anehnya punya gelembung ongkos politik
yang tambun.
Kabar
keterlibatan para taipan semisal James Riyadi, Antoni Salim cs sebagai founding Jokowi-JK, sulit ditampik. Dan
disinilah cikal bakal penyanderaan korupsi episode kedua bermula.
Saya
percaya pada adagium Milton Friedman “tak ada makan siang gratis.” Demokrasi
liberal yang mengandaikan politik sebagai industri, selalu meniscayakan
investasi politik sebagai business area
yang menjanjikan dan benefit, karena
disinilah (menguasai politik) apa saja bisa ditelan. Termasuk menelan pemerintahan Jokowi-JK sekalipun.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar