Sejak semester
tiga saya menulis. Hingga kini masih tetap menulis. Diingat-ingat, kenangan
menulis terbaik adalah saat-saat malam di kamar pojok belakang masjid raya
Nurussa’adah Kupang-NTT.
Setelah solat Isa,
suasana di sekitar masjid hening. Hanya suara kodok bersahutan dan gesekan daun
pisang kering menyatu menjadi harmoni nada-nada malam yang menghibur.
Malam-malam seperti itu ilham menulis membung ke atap langit inspirasi.
Tak terasa, kata-kata mengalir alami begitu saja. Kadang setelah menulis satu paragraf, saya membaca ulang dalam perasaan narsis tingkat tinggi dengan tulisan sendiri. Lucu, geli dan menari-nari dengan tulisan sendiri.
Kadang kesal,
karena terlalu banyak huruf “H” diakhir kata setiap tulisan. Dialek bahasa
sangat berpengaruh pada kata-kata dalam tulisan.
Teman saya yang
saleh Farhan sering bertanya sedikit kritik, Nir, kenapa selalu ada huruf “H”
diakhir kata di setiap tulisan-tulisan mu? Misalnya kata pergi ditulis
“pergih”. Kalau dikenang, kadang malu sendiri. Kata Farhan lagi, sudah begitu
tulisanmu terlalu pelit tanda titik (.) dan koma (,).
Tak pelak semua
itu berlalu, kenangan mesin ketik tua peninggalan masjid raya Nurussa’adah,
benar-benar berarti buat saya. Mesin tik tua itu saya temukan di gudang masjid
sebelah kanan toilet dan tempat ambil wudhu masjid Nurussa’adah.
Kondisi mesinnya
tua, berkarat. Tombol-tombol hurufnya sudah keras. Pitanya berjamur dan lembab.
Abjad-abjad di tombolnya sudah memudar tak karuan.
Selama satu minggu
mesin tik tua itu saya bersihkan dengan bensin dan oli kotor. Akhirnya bisa
digunakan juga mesin tik tua itu.
Tulisan pertama
saya dengan mesin tik tua itu langsung dipublikasi media lokal NTT. Nama
medianya NTT Expres. Judulnya “Menggugat Terorisme Global”. Kalau tidak salah,
tulisan itu dipublikasi pada tanggal 22 September 2001. Pasca tragedi WTC 11
September 2001. Waktu itu saya dapat honor dari tulisan ini sebesar Rp. 25.000
Tentu uang Rp.
25.000 ini sangat berarti bagi saya dimasa-masa itu. Bisa pake makan 4-5 kali.
Itu pun paling makan tempe penyet + nasi dan nasi campur seharga Rp. 2.500
untuk satu porsi di RM Murah-Fontein. Tapi sebenarnya tak cukup kalau makan
bersama teman-teman di HMI.
Masjid raya
Nurussa’adah itu pusat gerakan aktivis mahasiswa muslim Kota Kupang. Terutama
kader-kader HMI. Tentu kalau siang selepas kuliah, banyak teman-teman HMI
seangkatan mampir ke kamar. Kami makan seadanya saja beramai-ramai.
Paling apes adalah
makan bubur di siang bolong. Makan bubur ini ide bang Arif (Sekum HMI Cabang
Kupang). Sesekali kami makan mewah, dan itu cuma ikan bakar. Peristiwa makan
mewah itu terjadi, bila ada yang dapat beasiswa dari kampusnya.
Dengan terpublish
nya tulisan saya di media cetak lokal itu, semakin membuat saya keranjingan
menulis. Malam-malam, suara berisik tik..tok ..tik dengan mesin tik tua itu selalu memecah
kesunyian. Teman saya Nur Yadin sering bergurau, Nir, suara mesin tik kamu
seperti suara paruh ayam mematuk jagung di atas papan jemuran.
Suatu waktu Aba
Jafar (Imam besar Masjid Nurussa’adah) mampir dan melihat saya pake mesin tik
tua itu, kata aba, Nir, mesin tik tua itu sudah aba buang 10 tahun lalu…kok
masih bisa digunakan ya? Aba tak tahu, mesin tik tua ini bisa digunakan lagi
dengan keringat yang ndress.
Aba Jafar sangat
berarti dalam hidup saya. Bila saya menulis dari mana awal mula kualitas hidup
dan cara pandang saya bermula, tentu saya harus jujur mengatakan, sejak aba
Jafar mengamanahkan saya jadi mu’zin dan marbot di masjid Nurssa’adah-Kupang.
Ceritanya saya
rangkap jabatan di masjid. Selain bersih-bersih masjid seluas itu, tugas pokok
saya adalah azan setiap solat lima waktu.
Lima tahun
mengabdikan diri di rumah suci itu, setiap pagi saya sudah bangun pukul 03.30 atau lebih awal. Selepas solat subuh
bersih-bersih masjid. Kalau ada jam kuliah, saya segerah menyiapkan diri ke
kampus.
Selepas kuliah,
saya harus segerah kembali ke masjid untuk azan zuhur. Bila tak ada kuliah
sore, saya lebih sering dikamar, menulis, mengerjakan tugas-tugas kuliah, atau
membaca sebentar sambil menunggu waktu ashar.
Selepas solat
ashar adalah waktu yang paling sering saya habiskan dengan teman-teman aktivis
HMI. Tentu dengan berbagai acara. Dari kajian keislaman, dan diskusi soal
isu-isu daerah yang lagi hangat. Kami akan bubar bila menjelang waktu magrib.
Heheee..terutama saya, harus azan magrib.
Selepas solat isa,
anak-anak HMI itu kembali ke rumah atau kos nya masing-masing. Ada juga yang
numpang nginap di kamar saya. Jika tidak, saya kembali meranggut malam-malam
dengan tulisan-tulisan. Baik untuk dipublikasikan atau sekedar catatan pribadi
saja.
Tulisan kedua saya
adalah “Rasionalisme Al quran”. Setelah tulisan ini, tulisan berikutnya di
media cetak lokal terus dipublikasikan hingga saat ini. Selepas kuliah dan
menetap di Jakarta, tulisan saya, pernah terpublish di harian Koran Tempo
judulnya “Wikileaks dan Koloni Kelima”.
Kalau di Detik
News hampir setiap minggu tulisan saya muncul di kolom. Saya berhenti menulis
di detik, sejak tulisan saya berjudul “Tangan Tuhan di Gunung Salak” oleh
pimpinan redaksi detik jam 12 malam
mengabarkan tulisan itu hendak disomasi Cikeas.
Tulisan itu
akhirnya terpaksa dicabut dari peredaran (silahkan di search). Sebagai orang
kampung yang baru merantau ke Jakarta, tentu peristiwa itu membuat saya sedikit
kikuk. Sekarang saya belum mencobanya lagi di Detik News, apalagi media online
itu sekarang milik CT. Tentu tak seindependen dulu. Dua kali saya menulis di
Harian nasional Pelita.
Pernah juga
tulisan saya di Kompasiana muncul di halaman cetak KOMPAS melalui seleksi
Kompasiana Freez. Judulnya “Mak Tua Penjual Gorengan, Anaknya Sekolah di
Jerman”. Beberapa kali Mak Yati muncul di layar kaca tv (acara Hitam Putih
Trans 7, Tv one dan Kompas tv) karena tulisan saya itu. Kalau harian cetak
Jakarta, seperti Pos Kota, Koran Jakarta, tulisan saya pernah menjamahnya.
Hingga hari ini
saya masih sesekali menulis di Pos Kupang dan Timor Expres. Masih banyak
tulisan yang tidak bisa saya uraikan satu persatu.
Maksud cerita ini
bukan untuk menyombongkan diri. Tapi hanya ingin mengenang dan berbagi. Meski
saya bukanlah siapa-siapa dan tulisan-tulisan saya belum menjadi apa-apa.
Pesan yang ingin
saya sampaikan adalah, menulis itu seperti sebuah ceriman besar untuk berkaca
kepribadian. Menulis juga sebagai instrument untuk menelanjangi kepribadian dan
ideologi ke publik (pembaca).
Dengan begitu
orang bisa mengkritisi dan merubah cara pandang kita. Obsesi terbesar dalam
hidup saya adalah bisa menulis beberapa kali di koran sekelas KOMPAS cetak.
Bahkan sekarang, saya merasa menulis itu seperti panggilan. merasa bersalah
kalau tidak menulis.
Dulu saya disengat
gundah yang dalam, ketika hampir satu minggu tulisan saya tak dimuat koran
cetak. Tapi saya tanya paman google, ternyata Mark Twain atau Samuel Langhorne
Clemens, penulis terkenal itu selama 100 tahun otobiografinya tidak dipublikasikan.
Meski tulisan otobiografi itu sudah diselesaikan sebelum dirinya meninggal
tahun 1910. Otobiografinya baru diterbitkan Nopember 2010.
Mesin tik tua
keramat itu mengantarkan saya berfikir begitu jauh hingga ke Marks Twain
segala. Yang berkesan buat saya dimasa-masa itu adalah, kadang saya tertidur
dan tersungkur di atas tombol huruf mesin tik. Pagi-pagi, di pipi sebelah wajah
saya banyak bekas huruf A, B, C dan seterusnya.
Waktu malam di
pojok kamar belakang masjid, adalah tempat bersejarah buat saya. Saya paling
suka menulis dan membiarkan pintu kamar terbuka lebar sampai pagi.
Sengaja saya tak
menutupnya, dan hanya mengunci pintu gerbang. Dengan pintu terbuka, saya begitu
intim dengan suasana malam yang melankolis. Angin malam, suara kodok dan
gesekan dedaunan kering, seakan menggerayangi imajinasi.
Harmoni kumpulan
suara alam itu semakin memompa imajinasi dari detik ke detik, hingga jarum jam
terus bergerak maju menyapa dan mencubit genitnya larut malam. Hingga pada
klimaksnya, ide-ide itu terpenetrasi kuat, berhamburan begitu saja hingga
mencapai puncak enigma cinta.
Owhhhaa..cinta
akan kata-kata yang berbalut makna, substansi dan pesan spiritual. Kata-kata
itu mendekap ide gagasan, dan kumpulan ideologi-ideologi kecil yang terus
bergerak mencari konteks dan kondisi sosial saat itu. Saat dimana mesin tik tua
di pojok masjid Nurussa’adah memekik hening. Salam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar