Selasa, 15 April 2014

Masa Depan Politik Anggaran Kabupaten Alor


Dengan jumlah Daftar Pemilih tetap sebesar 121.854, mestinya rakyat Alor sudah punya wakil di Senayan. Paling tidak, anggota DPR-RI yang dipilih, bisa meng-advis anggaran pembangunan Kabupaten Alor selama satu periode (5 tahun). [baca : Masa Depan Politik Anggaran Kabupaten Alor http://kom.ps/AFfkna]


Lambatnya akselerasi pembangunan di Alor, selain dipicu politik birokrasi yang kemaruk bin korup, juga disebabkan oleh lesunya politik anggaran secara nasional.


Bupati dan Kepala Dinas membawa setumpuk proposal pembangunan infrastruktur, tapi setiba di Jakarta, bingung; kepada siapa proposal- proposal itu diberikan? Mau jadi tumpukan arsip kementrian? Atau?

Bila kita membangun kontrak politik ke salah satu figur, dan ia terpilih duduk di Senayan, ketika Bupati/Kepala Dinas ke Jakarta, mereka sudah tahu road map merealisasikan proposal tersebut. Bukan lagi meraba-raba.

Paling tidak, pemda Alor mendapat rekomendasi anggota DPR untuk mempermulus proposal dimaksud. Atau dalam melobi anggaran pembangunan, Pemda Alor tak perlu menggunakan calo seperti yang sudah-sudah.

Kenapa stressing point-nya pada politik anggaran? Karena di sinilah episentrum dinamika anggaran pembangunan secara nasional berlangsung.

Contoh kecil; di kementerian Pekerjaan Umum (PU) misalnya, setiap tahun punya program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dengan pagu Rp.250.000.000/desa. Anggaran ini ditransfer langsung ke rekening desa.

Meskipun distrubusi program PPIP memiliki Juklak/Juknis, tapi asas keterwakilan dan bargaining DPR (Komisi V) tetap memainkan peran penting. Hasilnya, setiap anggota DPR (Komisi V), diberikan jatah desa penerima PPIP dalam rangka pembinaan daerah pemilihan.

Untuk PPIP, setiap pimpinan komisi punya jatah 100-150 desa. Untuk badan angggaran (Banggar) 20 desa dan untuk anggota biasa yang menggunakan jatah fraksi menyaku 10 desa. Dan penjatahan ini diberikan secara gratis ke setiap desa binaan.

Jadi misalnya Yosep Masohi anggota DPR-RI Komisi V punya jata 20 desa, maka seluruh PPIP jatahnya diberikan pada dapil yang memilihnya secara signifikan ketika pemilu.

Lalu bagaimana dengan desa-desa di Alor? Setahu saya, jata PPIP Kabupaten Alor paling tinggi 4-6 desa. Tak lebih dari itu. Apa soalnya? Karena tak ada yang memperjuangkan !   

Asumsi yang sama berlaku untuk komisi-komisi lain yang juga bermitra dengan kementrian. Jadi ada politik anggaran yang menjadi variable antara untuk memperlicin akselerasi pembangunan desa.

Mari kita lihat, pertumbuhan desa di Alor dan desa-desa lain di Flores. Kita bisa temukan fakta, bahwa tingginya kesadaran pilihan politik, berbanding lurus dengan pertumbuhan infrastruktur dasar dan roda ekonomi pedesaan.

Hal sebaliknya juga terjadi di Alor, buruknya kesadaran pilihan politik sebanding dengan lambannya akselerasi pertumbuhan infrastruktur dasar di pedesaan.

Memang saat ini beberapa proyek yang bersumber dari anggaran pemerintah pusat ada di Alor. Tapi disaat yang sama, saya juga yakin, berapa persen (%) dari anggaran tersebut tersedot dan terkikis oleh biaya politik anggaran yang melintasi sekian mulut dan perut. Dari DPR dan Kementerian hingga calo proyek. Belum lagi Kepala dinas kotor di kabupaten mengambil jatahnya.

Beda kasus bila kita punya anggota DPR yang komit dan dipilih dengan suara signifikan. Hemat saya, dengan fungsi anggaran (budgeting), rumus-rumus distribusi anggaran yang bersih bisa dimainkan oleh orang yang kita percaya di Senayan. Yang perlu kita bangun adalah kontrak sosial politik.

Contoh lain misalnya, hasil optimalisasi anggaran, biasanya hanya dalam bentuk angka gelondongan, dan menjadi pos anggaran yang parkir dalam struktur anggaran dan digunakan setelah ada persetujuan DPR (Badan Anggaran).

Anggaran optimalisasi bersumper dari surplus penerimaan negara dan efisiensi atau penghematan belanja kementrian. Dan anggaran optimalisasi ini sejatinya digunakan untuk belanja modal dan infrastruktur. Tidak untuk surat berharga dan lainnya.

Dalam peruntukan dan distribusinya melalui pembahasan DPR inilah, dinamika politik anggaran memainkan peran strategis. Yang mau saya tanyakan, bila tak ada wakil kita di DPR, lalu siapa yang akan melobi distribusi anggaran ini untuk kabupaten Alor? Via calo kah? Ternyata sederhana dan soal pilihan politik saja.

Dan soal pilihan politik inilah yang membuat orang Alor terpuruk dari tahun ke tahun. Infrastruktur dasar kita buruk, padahal kita punya core bisnis potensial. Misalnya di sektor pariwisata, kelautan dan perikanan.

Tapi bila tak ditunjang dengan infrastruktur, jangan harap ada investor yang mau menanam modalnya. Akibatnya, sumber daya yang ada hanya bisa dikelola secara konvensional dan tak bisa menjadi supporting penguatan anggaran berbasis keunggulan daerah.

Apa akibatnya? Akibatnya adalah Seluruh SKPD strategis rame-rame bawa proposal ke Jakarta. Ditipu habis-habisan. Mulai dari calo proyek hingga aparat kementerian kotor dan nakal.

Saya memperkirakan, bila pilihan politik kita masih begitu-begitu saja dan tak berorientasi pembangunan. Jangan harap ke depan daya saing kita bisa sejajar dengan kabupaten-kabupaten lain di NTT !

Ini bukan tulisan yang skeptik dan menggurui. Sebagai putra daerah, saya punya hak untuk mengatakan dari sedikit soal yang saya tahu dan pahami. Salam. []  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar