Dengan jumlah Daftar Pemilih tetap sebesar 121.854, mestinya rakyat Alor
sudah punya wakil di Senayan. Paling tidak, anggota DPR-RI yang dipilih, bisa
meng-advis anggaran pembangunan Kabupaten Alor selama satu periode (5 tahun). [baca : Masa Depan Politik Anggaran Kabupaten Alor http://kom.ps/AFfkna]
Lambatnya akselerasi pembangunan di Alor, selain dipicu politik birokrasi yang kemaruk bin korup, juga disebabkan oleh lesunya politik anggaran secara nasional.
Bupati dan Kepala Dinas membawa setumpuk proposal pembangunan infrastruktur, tapi setiba di Jakarta, bingung; kepada siapa proposal- proposal itu diberikan? Mau jadi tumpukan arsip kementrian? Atau?
Bila kita membangun kontrak politik ke salah satu figur, dan ia terpilih
duduk di Senayan, ketika Bupati/Kepala Dinas ke Jakarta, mereka sudah tahu road map merealisasikan proposal
tersebut. Bukan lagi meraba-raba.
Paling tidak, pemda Alor mendapat rekomendasi anggota DPR untuk mempermulus
proposal dimaksud. Atau dalam melobi anggaran pembangunan, Pemda Alor tak perlu
menggunakan calo seperti yang sudah-sudah.
Kenapa stressing point-nya pada
politik anggaran? Karena di sinilah episentrum dinamika anggaran pembangunan
secara nasional berlangsung.
Contoh kecil; di kementerian Pekerjaan Umum (PU) misalnya, setiap tahun
punya program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dengan pagu
Rp.250.000.000/desa. Anggaran ini ditransfer langsung ke rekening desa.
Meskipun distrubusi program PPIP memiliki Juklak/Juknis, tapi asas
keterwakilan dan bargaining DPR (Komisi V) tetap memainkan peran penting.
Hasilnya, setiap anggota DPR (Komisi V), diberikan jatah desa penerima PPIP dalam
rangka pembinaan daerah pemilihan.
Untuk PPIP, setiap pimpinan komisi punya jatah 100-150 desa. Untuk badan
angggaran (Banggar) 20 desa dan untuk anggota biasa yang menggunakan jatah
fraksi menyaku 10 desa. Dan penjatahan ini diberikan secara gratis ke setiap
desa binaan.
Jadi misalnya Yosep Masohi anggota DPR-RI Komisi V punya jata 20 desa, maka
seluruh PPIP jatahnya diberikan pada dapil yang memilihnya secara signifikan
ketika pemilu.
Lalu bagaimana dengan desa-desa di Alor? Setahu saya, jata PPIP Kabupaten
Alor paling tinggi 4-6 desa. Tak lebih dari itu. Apa
soalnya? Karena tak ada yang memperjuangkan !
Asumsi yang sama berlaku untuk komisi-komisi lain yang juga bermitra dengan
kementrian. Jadi ada politik anggaran yang menjadi variable antara untuk
memperlicin akselerasi pembangunan desa.
Mari kita lihat, pertumbuhan desa di Alor dan desa-desa lain di Flores. Kita bisa temukan fakta, bahwa tingginya
kesadaran pilihan politik, berbanding lurus dengan pertumbuhan infrastruktur
dasar dan roda ekonomi pedesaan.
Hal sebaliknya juga terjadi di Alor, buruknya kesadaran pilihan politik
sebanding dengan lambannya akselerasi pertumbuhan infrastruktur dasar di
pedesaan.
Memang saat ini beberapa proyek yang bersumber dari anggaran pemerintah
pusat ada di Alor. Tapi disaat yang sama, saya juga yakin, berapa persen (%)
dari anggaran tersebut tersedot dan terkikis oleh biaya politik anggaran yang
melintasi sekian mulut dan perut. Dari DPR dan Kementerian
hingga calo proyek. Belum lagi Kepala
dinas kotor di kabupaten mengambil jatahnya.
Beda kasus bila kita punya anggota DPR yang komit dan dipilih dengan suara
signifikan. Hemat saya, dengan fungsi anggaran (budgeting), rumus-rumus distribusi anggaran yang bersih bisa
dimainkan oleh orang yang kita percaya di Senayan. Yang perlu kita bangun
adalah kontrak sosial politik.
Contoh lain misalnya, hasil optimalisasi anggaran, biasanya hanya dalam
bentuk angka gelondongan, dan menjadi pos anggaran yang parkir dalam struktur
anggaran dan digunakan setelah ada persetujuan DPR (Badan Anggaran).
Anggaran optimalisasi bersumper
dari surplus penerimaan negara dan efisiensi atau penghematan belanja
kementrian. Dan anggaran optimalisasi ini sejatinya digunakan
untuk belanja modal dan infrastruktur. Tidak untuk surat berharga dan lainnya.
Dalam peruntukan dan distribusinya melalui pembahasan DPR inilah, dinamika
politik anggaran memainkan peran strategis. Yang mau saya tanyakan, bila tak ada wakil kita di DPR, lalu siapa
yang akan melobi distribusi anggaran ini untuk kabupaten Alor? Via calo
kah? Ternyata sederhana dan soal pilihan politik saja.
Dan soal pilihan politik inilah yang membuat orang Alor terpuruk dari tahun
ke tahun. Infrastruktur dasar kita buruk, padahal kita punya core bisnis potensial. Misalnya di sektor pariwisata,
kelautan dan perikanan.
Tapi bila tak ditunjang dengan infrastruktur, jangan harap ada investor
yang mau menanam modalnya. Akibatnya, sumber daya yang ada
hanya bisa dikelola secara konvensional dan tak bisa menjadi supporting
penguatan anggaran berbasis keunggulan daerah.
Apa akibatnya? Akibatnya adalah Seluruh SKPD strategis rame-rame bawa
proposal ke Jakarta. Ditipu habis-habisan. Mulai dari calo proyek hingga aparat
kementerian kotor dan nakal.
Saya memperkirakan, bila pilihan politik kita masih begitu-begitu saja dan
tak berorientasi pembangunan. Jangan harap ke depan daya saing kita bisa sejajar dengan
kabupaten-kabupaten lain di NTT !
Ini bukan tulisan yang skeptik dan menggurui.
Sebagai putra daerah, saya punya hak untuk mengatakan dari sedikit soal yang
saya tahu dan pahami. Salam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar