Sudah 3 kali lebaran, saya
tidak pulang ke kampung. Tentu dengan berbagai alasan. Mulai dari tuntutan
hidup dan berjibaku dengan pekerjaan dan perstudian. Tapi selama tiga kali
lebaran itu juga, saya memendam rasa yang teramat terhadap kampung halaman.
Terutama Ibu saya, dan tentu juga dengan kaleso dan ikan goreng balik tomat khas pesisir racikan ibu.
Kemarin saya menelpon ibu,
tapi mungkin signalnya buruk. Padahal, dikesempatan yang mulia ini, saya ingin
menjelaskan pada ibu, kenapa saya tak bisa pulang. Meski ibu bisa memahaminya.
Dulu ketika kapal laut yang
saya tumpangi hendak bertolak dari pelabuhan menuju Jakarta, ibu
berpesan, “Jangan pulang sebelum kau menaklukkan Jakarta”. Kata-kata itu diucap
ibu dengan sungguh-sungguh.
Kalau bisa menelpon tadi pagi,
saya hendak bilang ke ibu, “perjuangan masih panjang, masih membutuhkan
keringan dan peluh. Izinkan ananda meneguk air cinta dan sentuhan
kebundaan, hanya sebagai penyemangat untuk kembali ke perantauan”. Bagi
anak desa seperti saya ini, pasti punya prinsip. Kalau sudah maju, pantang
surut ke belakang. Ibarat perang, mundur selangkah mati kafir. Ini yang
membikin saya masih kuat di rantau.
Tapi belakangan saya merasakan
Jakarta begitu kejam, bengis dan culas. Setiap orang hidup dengan isi perutnya
sendiri-sendiri. Kepedulian hanya ada di masjid, gereja, forum-forum pengajian
dan retorika dosen yang berbusa-busa memuntahkan teori Karl Marx dan Kiri
Islam. Tapi tetap sama saja. Di belakang meja perkuliahan, yang ada hanya
ketidakadilan dan despotism. Universitas mengkomersilkan nilai, dosen
mengeksploitasi mahasiswa dengan segenap arogansi akademiknya.
Yang kaya membungkus dirinya
rapat-rapat dengan amalan yang demonstratif. Politisi dan penguasa pun sama
saja. Memutihkan dosa dengan menyumbang sana-sini dengan uang hasil korupsi.
Pemuda, mahasiswa dan aktivis
pembaharu diamputasi idealismenya. Bagi mereka kalangan muda progresif yang
pragmatis, disulap menjadi elitis. Akhirnya, buta dan tuli terhadap kondisi di
sekitarnya. Petani, buruh dan kaum miskin kota menjadi objek spekulasi
angka-angka statistik.
Kemiskinan dan kepapaan
mereka, hanya sebatas menjadi bahan-bahan presentasi bagi bagi mereka yang
berdasi dan berseminar bak moralis di hotel mewah berbintang. Angka kemiskinan
katanya dapat ditekan, tapi banyak yang antrian sembako hingga terinjak dan
mati. Kejamnya struktur sosial demikian, terus mengejar dan menghantui saya.
Di tengah hiruk-pikuk itulah,
saya dan tentu anak-anak kampung lainnya, bermimpi mengejar cita-cita. Kalau
pun lebaran kali ini saya ingin sekali pulang, itu sekedar menarik nafas lagi.
Menambah vitalitas. Cukup sekali lagi saja usapan tangan ibu di kepala ini,
semangat untuk menjemput takdir itu kembali mengental. Sentuhan tangan ibu
adalah mu’jizat. Dan juga keberkahan. Bisa mengalahkan kepongahan dan keculasan
para pajabat di negeri ini. Bahkan bisa mengalahkan restu SBY sekalipun.
Tapi sudahlah, biarkan saya
menikmati kesendirian di tengah kegaduhan Ibukota. Dengan begini, saya bisa
merangkai satu demi satu pesan ibu ketika ananda hendak berlayar ke Kota ini.
Setiap tetes air mata yang ibu jatuhkan untuk saya, akan diperhitungkan Allah.
Setiap keringat, peluh yang
ibu ikhlaskan untuk saya selama ini, dicatat oleh Allah. Sebagai mata air kasih
surgawi yang akan menemani ibu di kehidupan kekal kelak. Tiada yang sia-sia,
ketika semua ini kita sandarkan pada-Nya. Do’aku kan selalu menyertai
setiap tapak kaki dimana Ibu berpijak. Amen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar