Kamis, 19 Juni 2014

Curhat Mpo Yati, “Kami Ga’ Nyangka die (Jokowi) Nyapres”


Mereka dibohongi Jokowi
Pada Pilgub DKI 2012, ibu-ibu di kampung saya paling getol mengkampanyekan Jokowi. Bendahara RT 13 Kayu Manis-Jakarta Timur; MpoYati, kalau menagih uang sampah, pasti kampanye Jokowi berjam-jam.

Saya bekerja keras mendengarkannya. Logat Betawi-nya yang kental itu, kadang membuat telinga saya agak awut-awutan memahaminya. Ujung kata-katanya kebanyakan huruf “E dan O”

Saya maklumi saja Mpo Yati, karena memang sekarang saatnya rakyat meledakan giroh politiknya. Kata Mpo Yati, “kami ni ye bang, sudah percaya bangat ame Jokowi, die bise bangun Jakarte, die bise bikin Jakarte kaga macet dan banjir kaya dulu…Noh Solo, kalau kaga ade die ni..ga bakalan maju-maju”. Saya iyakan saja Mpo Yati, meski ukurannya tentang Jokowi adalah beralaskan berita bombastis mass media pesanan.  

Mpo Yati bendahara RT, tambah bersemangat membumikan Jokowi di RT 13, karena Jokowi janji menaikan honor RT se-Jakarta. Meski belakangan honor kehormatan RT dan RW sebesar Rp 500 ribu  itu “gagal” dan hanya menjadi basa-basi politik pencitraan.

Waktu lalu (2012) menjelang hari pemungutan suara Pilgub DKI, Mpo Yati mampir ke rumah saya, minta sumbangan keamanan. Mpo Yati sempat-sempatnya mengingatkan saya, “bang…jangan lupa  ye…milih Jokowi-Ahok”.

Saya jawab seadanya untuk memompa semangatnya “iye..iye gua bakalan nyoblos ntuh si Joko calon gubernur Mpo”. Mpo Yati hanya nyengir. Mungkin ia senang bisa mempengaruhi saya.  

Waktu KPU DKI mengumumkan hasil pleno yang dimenangi pasangan Jokowi-Ahok, warga RT 13 Kayu Manis nonton bareng. Mereka bersorak..ada yang histeris menumpahkan kebahagiaan atas kemenangan pasangan Jokowi-Ahok. Mereka punya mimpi besar untuk Jokowi.

Waktu musim kampanye Pilgub DKI, Jokowi ramai digadang-gadang tak tuntas memimpin Jakarta, karena mau jadi calon presiden RI. Mpo Yati berbusa-busa meyakinkan saya (kalau mampir ke rumah) yang waktu itu menanyakannya tentang kabar Jokowi mau nyapres.  Mpo Yati bilang, “kaga ade bang, die udeh janji dan bilang, kabar die nyapres itu fitnah dan isu…die bakal jadi Gubernur Jakarta lima tahun.”

Saya percaya saja Mpo Yati, bahkan lebih percaya dia dari pada mulut politisi dan akademisi seperti Adrinof Caniago. Toh saya pikir, Mpo Yati tak punya kepentingan apapun. Dia cuma punya mimpi, ia cuma punya harapan. Mungkin juga seperti warga awam lainnya di Jakarta.

Waktu banjir melebur bundaran HI dan merangsak masuk istana presiden, dan separuh kawasan Matraman direndam banjir seukuran pinggang, warga RT 13 ramai membicarakan peristiwa seumur-umur itu.

Mpo Yati yang biasa menjalankan tugasnya sebagai bendahara RT, tak lagi menyala seperti dulu; mengelu-elukan Jokowi. Wajah Mpo Yati yang selalu sumringah menyebut nama Jokowi, bertambah kabur dan kecut, ketika satu tahun setelah jadi Gubernur DKI, di seluruh stasiun tv mengabarkan Jokowi mau nyapres. Mpo Yati mungkin agak terhibur, ketika Jokowi membantahnya dengan mengatakan “ia tak urus copras-capres”

Satu hari setelah pendeklarasian Jokowi sebagai capres PDIP di rumah si Pitung; saya berpapasan dengan Mpo Yati  di ujung gang. Ia lagi membeli bubur ayam Mas Maman untuk anaknya. Ia hanya ketus melempar beberapa kalimat, ketika saya tanya sedikit mengolok, “mpo…gimana tuh, gubernurnya (Jokowi) mau nyapres?” Mpo Yati dengan ketus menjawab “Aye kaga nyangka bang die nyapres”.   

Mpo Yati bukan pendukung capres Prabowo, juga bukan pendukung capres manapun. Ia hanya jatuh, dari harapan yang sudah dihelanya ke atas atap imajinasi. Yang terjadi sebaliknya; Jokowi yang dikira “juru selamat Jakarta itu, merontokkan harapan orang-orang kecil sepertinya. Ini peristiwa batin orang-orang kecil yang dapat kita saksikan.


Saya lantas membayangkan, betapa sakitnya; betapa teraduk-aduknya perasaan, bila asa yang membumbung itu, jatuh ke derajat yang paling menyakitkan.

Mereka baru saja terlepas dari keculasan Gubernur Jakarta sebelumnya, lalu dipecundangi orang yang mereka cinta dan percayai (Jokowi).  Bahkan kita bisa merasakan “betapa sakitnya dikhianati”.  

Hati Mpo Yati yang terkoyak-koyak…adalah contoh kecil seorang pemimpin yang merebut, lalu menginjak-injak dan mengkhianati ketulusan rasa cinta rakyat padanya.

Saya, bahkan anda juga setuju, bahwa pemimpin dipercaya, karena sumpah dan janji-janjinya. Pemimpin dipercaya karena tabiatnya. Lalu ketika seorang pemimpin “tidak amanah dan pendusta,”  lalu dimana idealnya kita letakkan harapan itu padanya? Untuk janji-janji kecil saja mudah ia mentahkan, bahkan mengkhianati; apalagi untuk janji-janji besar pada negeri seluas ini?

Kini di depan rumah Mpo Yati, tak ada gambar Jokowi dan Juga Prabowo. Beberapa minggu lalu saya lewat di depan gang Mpo Yati, ia hanya senyum tapi tak secerah dulu. Sambil tertawa masam, dan tanpa saya tanya, mpo Yati berseloroh “Aye nanti di TPS aje bang...kaga mau ribet-ribet kaya Pilgub dulu, Aye bosen bang,..kaga ade yang benar orang-orang atas ntuh..semuanya pada bohong, apalagi Jokowi”.

Saya hanya bisa menyelami bahasa politik orang-orang kecil seperti Mpo Yati, Bendahara RT; istri Mas Jamal, pedagang sate kambing yang maknyos itu”. Saya lebih percaya Mpo Yati. Percaya pada kejujurannya meracik bumbu sate  Madura yang pedasnya menggigit dan menohok selera. Sate kambing Mpo Yati tak pahit dan cita rasanya nikmat. Tak sepahit dan tak sekecut Janji Jokowi pada warga Jakarta. Salam. []  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar