Jumat, 18 April 2014

Huru-hara, Isu Puan Keukeuh Dampingi Joko Wi


Pelan tapi pasti, cirit politik menyempil di tengah hangatnya berita koalisi PDIP. Cirit itu (maaf)kotoron manusia yang keluar bersama kentut; bisa karena mencret atau kebelet, “tapi nahan”. Meski sudah ada yang tahu, tapi saya jelaskan lagi, supaya lebih jelas.


PDIP yang terlihat congak--sedikit gaduk, menghitung kemenangan di luar kepala, tiba-tiba mendacin ulang formasi koalisi; tak dinyana, kabarnya, Puan ingin jadi cawapres Jokowi. Puan juga diberitakan, pernah manghardik mas Joko Wi pasca pileg 9 April.

Sungguh ini mengipas api konflik yang setiap saat meluber soliditas kader merah melangkah. Peta kemenangan berikut kabinet bayangan yang sudah dikukuh, tiba-tiba perlu dicoret lagi.    

Seperti yang sudah dikira, tarik-menarik trah Megawati—Seokarno akan mengeras di tubuh PDIP. Ini soal siapa yang mengakar. Ini soal mitos geneologi politik. Trah Soekarno yang menurun ke kiprah politik Megawati, tak dipungkiri menjadi biopolitik yang selama ini menyambung nafas dan keberlangsungan PDIP di tiga rezim. Tanpa itu, PDIP tak sekuat sekarang.  

Masih berpaut isu Puan ingin jadi cawapres Jokowi; beberapa waktu lalu, Guru Soekarno juga ketus menyarankan, paham Soekarnoisme Jokowi perlu digahar lagi. Ada apa? Tak sepantas--itukah Jokowi; hingga—mungkin ia perlu di dampingi Puan?

Manuver duo gahara (Puan & Guru) ini, mengkonfirmasi publik, bahwa apa yang terjadi di tubuh PDIP; Khususnya terkait pencapresan Jokowi? Pertanyaan ini sekaligus jawaban pada publik, bahwa terkesan; diam-diam Jokowi tak mendapat tempat di hati dua keturunan Soekarno itu. Jokowi bak boneka hinaningyo yang dipake menghibur puan dan nyonya bangsawan Jepang.  

Soal isu keinginan Puan ini, menyiarkan sederet informasi ke partai lain, bahwa PDIP pun belum selesai dengan dirinya. Buktinya, setelah keinginan puan itu tersingkap di media, sesama elit PDIP membantah; saling serang, bahkan ada yang tegas menginginkan “cawapres eksternal”. Bukan Puan.

Cawapres eksternal ini tentu beralas pada formasi pemerintahan (PDIP) di parlemen kelak. Formasi koalisi yang dinginkan PDIP adalah penguatan dan efektifikasi sistim pemerintahan. Kehadiran Puan dengan keinginannya, “cukup merepotkan kekuatan yang sudah diurut rapi”.

Kini PDIP terlihat kocar-kacir, dengan rencana dan keinginan orang dalam yang silang-sengkarut. Tak cukup disitu, pertemuan Jokowi, Mega dengan duta besar Amerika--Vatikan, membuat barisan kekuatan PDIP makin getas.

Setelah heboh pertemuan itu, segera alam fikir kita ditukik pertanyaan tajam---terkait nasionalisme—anti asing yang sering dipake sebagai identitas politik PDIP. Alhasil, pertemuan itu, kian meng-upak ekpektasi publik pada Jokowi dan PDIP. Ternyata, “seperti inikah Jokowi?” “Seperti inikah Megawati yang anti asing?”

Memang pertemuan itu wajar, agar Jokowi mengasah tata pergaulan internasional-nya. Tapi dilakukan diam-diam dan tertutup di musim politik, pasti menghela syakwa sangka ke titik yang paling negatif.

Belum juga perhelatan dimulai, Jokowi, Puan dan Mega sudah menimbun krisis. Dari soal politisasi Ujian Nasional (UN), Jokowi yang dihardik Puan, drama pertemuan dengan beberapa diplomat asing, hingga isu Puan yang Keukeuh; ingin dampingi Joko Wi. Seperti inikah?      

       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar