Pelan
tapi pasti, cirit politik menyempil di tengah hangatnya berita koalisi PDIP. Cirit
itu (maaf)kotoron manusia yang keluar
bersama kentut; bisa karena mencret atau kebelet, “tapi nahan”. Meski sudah ada
yang tahu, tapi saya jelaskan lagi, supaya lebih jelas.
PDIP yang terlihat congak--sedikit gaduk, menghitung kemenangan di luar kepala, tiba-tiba mendacin ulang formasi koalisi; tak dinyana, kabarnya, Puan ingin jadi cawapres Jokowi. Puan juga diberitakan, pernah manghardik mas Joko Wi pasca pileg 9 April.
Sungguh
ini mengipas api konflik yang setiap saat meluber soliditas kader merah
melangkah. Peta kemenangan berikut kabinet bayangan yang sudah dikukuh,
tiba-tiba perlu dicoret lagi.
Seperti
yang sudah dikira, tarik-menarik trah Megawati—Seokarno akan mengeras di tubuh
PDIP. Ini soal siapa yang mengakar. Ini soal mitos geneologi politik. Trah
Soekarno yang menurun ke kiprah politik Megawati, tak dipungkiri menjadi
biopolitik yang selama ini menyambung nafas dan keberlangsungan PDIP di tiga
rezim. Tanpa itu, PDIP tak sekuat sekarang.
Masih
berpaut isu Puan ingin jadi cawapres Jokowi; beberapa waktu lalu, Guru Soekarno
juga ketus menyarankan, paham Soekarnoisme Jokowi perlu digahar lagi. Ada apa?
Tak sepantas--itukah Jokowi; hingga—mungkin ia perlu di dampingi Puan?
Manuver
duo gahara (Puan & Guru) ini,
mengkonfirmasi publik, bahwa apa yang terjadi di tubuh PDIP; Khususnya terkait pencapresan Jokowi? Pertanyaan ini
sekaligus jawaban pada publik, bahwa terkesan; diam-diam Jokowi tak mendapat
tempat di hati “dua keturunan Soekarno itu”. Jokowi bak boneka hinaningyo yang dipake menghibur puan dan nyonya
bangsawan Jepang.
Soal isu
keinginan Puan ini, menyiarkan sederet informasi ke partai lain, bahwa PDIP pun
belum selesai dengan dirinya. Buktinya, setelah keinginan puan itu tersingkap di
media, sesama elit PDIP membantah; saling serang, bahkan ada yang tegas menginginkan
“cawapres eksternal”. Bukan Puan.
Cawapres
eksternal ini tentu beralas pada formasi pemerintahan (PDIP) di parlemen kelak.
Formasi koalisi yang dinginkan PDIP adalah penguatan dan efektifikasi sistim
pemerintahan. Kehadiran Puan dengan keinginannya, “cukup merepotkan kekuatan
yang sudah diurut rapi”.
Kini
PDIP terlihat kocar-kacir, dengan rencana dan
keinginan orang dalam yang silang-sengkarut. Tak cukup disitu, pertemuan Jokowi,
Mega dengan duta besar Amerika--Vatikan, membuat barisan kekuatan PDIP makin getas.
Setelah
heboh pertemuan itu, segera alam fikir kita ditukik pertanyaan tajam---terkait
nasionalisme—anti asing yang sering dipake sebagai identitas politik PDIP.
Alhasil, pertemuan itu, kian meng-upak ekpektasi publik pada Jokowi dan PDIP.
Ternyata, “seperti inikah Jokowi?” “Seperti inikah Megawati yang anti asing?”
Memang
pertemuan itu wajar, agar Jokowi mengasah tata pergaulan internasional-nya.
Tapi dilakukan diam-diam dan tertutup di musim politik, pasti menghela syakwa sangka
ke titik yang paling negatif.
Belum
juga perhelatan dimulai, Jokowi, Puan dan Mega sudah menimbun krisis. Dari soal
politisasi Ujian Nasional (UN), Jokowi yang dihardik Puan, drama pertemuan dengan beberapa diplomat asing, hingga isu Puan yang Keukeuh; ingin dampingi Joko Wi. Seperti
inikah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar