Untuk
memajang satu iklan berwarna di kolom kecil Koran per hari, biayanya belasan
hingga puluhan juta rupiah. Apalagi wajah terpampang di seluruh media, baik
cetak dan elektronik. Tentu ongkosnya tak sedikit. Apalagi nongol di TV
beberapa detik.
Kalau Abrurizal Bakrie Wajar, dia mantan mentri, kaya dengan status pengusaha. Kalau Wiranto juga wajar, mantan panglima TNI, cawapresnya Hary Tanoe, saudagar media.
Kalau Jenderal (Purn) Prabowo juga sama, adiknya Hasyim pengusaha pertambangan sukses yang selama ini mandanainya. Wajar mereka-mereka ini punya alasan untuk belanja politik dalam jumlah besar.
Terhitung
sejak Joko Wi jadi calon gubernur DKI, hingga jadi capres, kira-kira puluhan
bahkan ratusan miliaran rupiah sudah dihambur Joko Wi dan timnya.
Tapi
sulit kita pastikan, dari mana dana sebesar itu diperoleh? Dengan cara halal,
atau seolah-olah halal? Dari saku sendiri atau dari donator. Siapa donaturnya?
Joko Wi
yang katanya “tak korup”, sederhana dan populis, tentu tak menyaku uang
sabanyak itu sebagai ongkos politik. Apalagi selama menjadi Walikota Solo, ia
tak terima gaji. Gajinya dikembalikan ke kas daerah. Joko Wi juga katanya tak
pernah “main proyek”.
Begitupun
jadi Gubernur DKI, ia juga tak mau menerima gajinya. Kalau pun bisnis mebelnya yang
selama ini menyokong ongkos politik, tentu itu tak seberapa. Bisa-bisa usaha
Joko Wi guling tikar karenanya.
Kalau
pun ongkos politik itu dari partainya (PDIP), rasanya sulit juga. Partai wong
cilik ini terkesan sederhana dan bersih dari geliat korupsi. Megawati juga apa
korporasi bisnis raksasa yang ia
punya? Tak ada kan?
Apalagi
dengan posisi PDIP sebagai oposisi di pemerintahan kali ini, jangankan korupsi,
kesempatan untuk korupsi saja sulit. Tapi ada juga 27 kader PDIP yang menurut
KPK terlibat korupsi. Akhirnya bisa korupsi juga; Alhamdulillah.
Lalu dari mana dana politik Jokowi?
Memang
beberapa waktu ini, berhembus kencang isu Jokowi dibiayai James Riyadi. Raja
Lippo Group yang pernah mendanai mantan Presdien AS Bill Clinton.
Gosip kampung
sosmed pun menuturkan, Jokowi ditopang sekelompok pengusaha kakap. Kalau di tanya pengusaha pribumi atau non pribumi? Pengusaha hitam atau putih? Susah
juga menjawabnya, nanti dikalim rasis. Media juga tak merunut yang menyokong
itu pengusaha hitam atau abu-abu?
Beberapa
waktu lalu, puluhan pengusaha mendatangi kantor DPP PDIP, mereka datang
mendukung Jokowi. Oleh media tak dijelaskan rinci apa motif dukungan
pengusaha-pengusaha itu. Sekilas publik menangkap, mereka-lah kantong dana capres
Joko Wi. Tapi apa benar?
Beberapa
account twitter juga berani-beraninya berkicau, kalau dana politik Jokowi
bersinggungan dengan uang haram BLBI.Praktek mafioso perbankan yang terjadi
dikala Megawati Berkuasa. Ini perbincangan rakyat sosmed. Itu nyata atau gosip?
Entah? Hanya Tuhan dan Joko Wi yang tahu.
Ongkos
politik Joko Wi yang remang-reamang itu, segerah memancing rasa curiga publik,
siapakah penyandang dana Joko Wi? Atau perusahan apa yang mensponsori iklan
politik Joko Wi yang padat merayap itu?
Inilah
sederet pertanyaan, yang
mendudukkan Joko Wi di kamar gelap dinamika
Pilpres 2014. Jokowi yang seketika popular dengan pretasi datar sebagai
Walikota Solo dan Gubernur DKI, rasanya tak mungkin ditukik media bila tanpa
ongkos yang besar.
Kalau
pun ada sumber penyokong, tentu kelak imbal sosial politikya terlampau mahal.
Konon Jokowi yang bukan siapa-siapa kemudian mendulang nama besar, tentu menelan ongos fantastis. Kalau ditanya dari mana sumbernya? Wallahualam.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar