Setamat studi dan menyelesaikan
tugas sebagai Ketua Umum HMI Cabang pada
tahun 2004, saya
seperti orang jatuh terkusruk. Gamang meraba masa depan. Tak sedikit
teman-teman seangkatan yang pulang kampung untuk mengikuti tes PNS. Kota
Kupang kembali sepi. Satu persatu mereka pergi demi tuntutan hidup.
Hanya saya yang masih menahan
diri di Kota Kupang. Itupun tak terlalu lama. Akhirnya saya memilih
mengasingkan diri di kota perbatasan Indonesia dan negara Republic
Demokratic Timur Leste (RDTL). Pilihan ini bukan keterpaksaan, tapi suatu
strategi untuk menghindari umpatan sosial yang mempertanyakan kenapa saya tak
PNS?
Memang di lingkungan sosial
saya, PNS itu seperti agama baru. Status dan derajat sosial seseorang akan
terangkat di lingkungannya, manakala ia PNS. Mitos mengerian inilah yang turut
menjadi kegelisahan ayah dan ibu saya di kampung.
Ibu saya pernah memohon-mohon
agar saya test PNS, tapi saya mencoba memberi pengertian. Namun karena persepsi
sosial ini telah berurat-akar, makanya sulit ditepis dari mind-set orang tua.
Hemat saya PNS atau tidak, itu bukan soal. Yang saya takut dan khawatirkan
adalah terjadi paceklik nilai dalam hidup dan struktur berfikir saya.
Saya masih ingat, sore itu
dipenghujung september 2004, dengan pakaian yang
terbungkus dengan kresek plastik berwarnah merah dan uang Rp.100.000, saya
berangkat ke tarminal bus Oebobo-Kupang diantar kekasih saya (waktu itu) Siti
Hainun Krsaini Resi. Sosok yang berati dalam hidup saya. Sosok yang tak sanggup
saya balas semua kebaikannya.
Tekad saya untuk mengasingkan
diri di Atambua sudah bulat. Sore itu dengan bus Sinar Gemilang, saya dan
penumpang lainnya meluncur di tengah hutan dan bebukitan antara Kupang dan
Belu. Nunung melepaskan saya dengan derai air mata.
Berat juga hati saya
meninggalkan Kota Kupang. Kota yang mengukir sejumlah tapak juang saya dan
teman-teman. Di sana kami mengasah idealisme, di sana kami menajamkan cara
pandang dan ideologi, di sana pula benih-benih cinta berserahkan dijeda waktu
berdialektika dan melawan sistim sosial yang koruptif.
Di kota Kupang lah
persenggamaan kepamahan keislaman dan realitas sosial objektif tercipta. Namun
kota itu telah sepi. Satu demi satu kami terpental keluar ke kampung
masing-masing demi tuntutan hidup dan keluarga. Begitupun saya, akhirnya
memilih mengasingkan diri di Kota Belu.
Sore itu di dalam bus, hati
saya gundah bergelayut kesepian yang teramat. Memilih ke Belu adalah labirin
yang sulit ditepis. Tapi apa dikata, saya adalah serpihan otomik yang terpental
oleh gemuruh dan deburan gelombang pragmatisme sosial yang akut. Dalam bus itu,
saya berusaha memenjarakan tatapan mata ke dalam hutan belantara. Agar tak lagi
melihat sesiapapun di sekitar saya. Sesekali air mata saya jatuh, “betapa hidup
ini saya jalani sendiri tanpa dorongan tangan sesiapapun terkecuali ayah dan
ibu yang jauh di sebrang laut Timor.
Dalam bus, saya terhibur oleh
lagu-lagu berbahasa Portugis yang diputar oleh sopir bus mengiringi perjalanan
kami. “O amor ea solidao que e um amargo” cinta dan kesendirian itu
dua hal yang pahit. Saya hanya tersenyum sedikit jengkel mendengar lagu
ini. Entahlah, saat lagu ini digubah, apakah sang penulis mengalami situasi
batin yang sama sepeti saya atau apa? Memiliki cinta, tapi terpaksa pergi dalam
kesendirian. Pahit rasanya.
Tepat pukul 03.45, bus kami
pun tiba dikota Atambua. Kota yang asing bagi saya. Memang di sini ada beberapa
keluarga saya dari kampung, tapi saya pun kurang tau, dimana tempat tinggal
mereka. Saya teringat pesan ayah, “Kemana pun kamu pergi, jadikan masjid
sebagai tempat persinggahanmu yang pertama, karena disitulah terdapat pintu
rahmat Allah bagimu”. Malam itu saya tidur di masjid.
Tanpa terasa, waktu subuh
menghampiri rasa kantuk saya yang teramat dimalam itu. Tapi pagi itu saya
berusaha melawan rasa kantuk dan berwudu lalu azan subuh. Banyak mata yang
tertuju pada saya penuh tanya. Maklum, suara saya terbilang bagus. Itu menurut
teman-teman saya di HMI.
Bukan untuk ria, dari dulu
saya tinggal dimasjid menjadi muazzin. Itupun karena pak Imam masjid (Aba
Jafar) senang dengan suara azan dan mengaji saya. Sejak SD hingga MTs, saya
selalu masuk dalam juara MTQ. Di HMI saya selalu menjadi qori’ langganan
bila ada acara-acara resmi.
Setelah solat subuh, saya
dengar banyak Ibu-ibu yang menanyakan “Siapa anak yang azan subuh tadi?
Suaranya merdu dan sahdu”. Meski dalam kegamangan karena tidak tau kemana saya
harus tinggal, batin saya merasa terhibur, bahwa ternyata saya masih punya
harga oleh sebahagian orang.
Berbekal sisah uang ongkos
bus, pagi itu saya mencari warung makan untuk sarapan. Maklum, sejak kemarin sore,
perut saya keroncongan. Tak ada sesuatu apapun yang masuk ke dalam perut saya.
Air putih pun tidak. Uang yang ada di dompet saya tinggal Rp 26.000, kalau
ditamba makan siang, besoknya saya tidak punya uang sepeser pun.
Satu-satu harapan saya adalah
berharap ada pertolongan Allah untuk mempertemukan saya dengan keluarga atau
teman.....Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar