Jumat, 06 Maret 2015

Pasca HMI, Mengasingkan Diri di Kota Belu



Setamat studi dan menyelesaikan tugas sebagai Ketua Umum HMI Cabang pada tahun 2004, saya seperti orang jatuh terkusruk. Gamang meraba masa depan. Tak sedikit teman-teman seangkatan yang pulang kampung untuk mengikuti tes PNS. Kota Kupang kembali sepi. Satu persatu mereka pergi demi tuntutan hidup.

Hanya saya yang masih menahan diri di Kota Kupang. Itupun tak terlalu lama. Akhirnya saya memilih mengasingkan diri di kota perbatasan Indonesia dan negara Republic Demokratic Timur Leste (RDTL). Pilihan ini bukan keterpaksaan, tapi suatu strategi untuk menghindari umpatan sosial yang mempertanyakan kenapa saya tak PNS?

Memang di lingkungan sosial saya, PNS itu seperti agama baru. Status dan derajat sosial seseorang akan terangkat di lingkungannya, manakala ia PNS. Mitos mengerian inilah yang turut menjadi kegelisahan ayah dan ibu saya di kampung.

Ibu saya pernah memohon-mohon agar saya test PNS, tapi saya mencoba memberi pengertian. Namun karena persepsi sosial ini telah berurat-akar, makanya sulit ditepis dari mind-set orang tua. Hemat saya PNS atau tidak, itu bukan soal. Yang saya takut dan khawatirkan adalah terjadi paceklik nilai dalam hidup dan struktur berfikir saya.

Saya masih ingat, sore itu dipenghujung september 2004, dengan pakaian yang terbungkus dengan kresek plastik berwarnah merah dan uang Rp.100.000, saya berangkat ke tarminal bus Oebobo-Kupang diantar kekasih saya (waktu itu) Siti Hainun Krsaini Resi. Sosok yang berati dalam hidup saya. Sosok yang tak sanggup saya balas semua kebaikannya.

Tekad saya untuk mengasingkan diri di Atambua sudah bulat. Sore itu dengan bus Sinar Gemilang, saya dan penumpang lainnya meluncur di tengah hutan dan bebukitan antara Kupang dan Belu. Nunung melepaskan saya dengan derai air mata.

Berat juga hati saya meninggalkan Kota Kupang. Kota yang mengukir sejumlah tapak juang saya dan teman-teman. Di sana kami mengasah idealisme, di sana kami menajamkan cara pandang dan ideologi, di sana pula benih-benih cinta berserahkan dijeda waktu berdialektika dan melawan sistim sosial yang koruptif.

Di kota Kupang lah persenggamaan kepamahan keislaman dan realitas sosial objektif tercipta. Namun kota itu telah sepi. Satu demi satu kami terpental keluar ke kampung masing-masing demi tuntutan hidup dan keluarga. Begitupun saya, akhirnya memilih mengasingkan diri di Kota Belu.

Sore itu di dalam bus, hati saya gundah bergelayut kesepian yang teramat. Memilih ke Belu adalah labirin yang sulit ditepis. Tapi apa dikata, saya adalah serpihan otomik yang terpental oleh gemuruh dan deburan gelombang pragmatisme sosial yang akut. Dalam bus itu, saya berusaha memenjarakan tatapan mata ke dalam hutan belantara. Agar tak lagi melihat sesiapapun di sekitar saya. Sesekali air mata saya jatuh, “betapa hidup ini saya jalani sendiri tanpa dorongan tangan sesiapapun terkecuali ayah dan ibu yang jauh di sebrang laut Timor.

Dalam bus, saya terhibur oleh lagu-lagu berbahasa Portugis yang diputar oleh sopir bus mengiringi perjalanan kami. “O amor ea solidao que e um amargo” cinta dan kesendirian itu dua hal yang pahit. Saya hanya tersenyum sedikit jengkel mendengar lagu ini. Entahlah, saat lagu ini digubah, apakah sang penulis mengalami situasi batin yang sama sepeti saya atau apa? Memiliki cinta, tapi terpaksa pergi dalam kesendirian. Pahit rasanya.

Tepat pukul 03.45, bus kami pun tiba dikota Atambua. Kota yang asing bagi saya. Memang di sini ada beberapa keluarga saya dari kampung, tapi saya pun kurang tau, dimana tempat tinggal mereka. Saya teringat pesan ayah, “Kemana pun kamu pergi, jadikan masjid sebagai tempat persinggahanmu yang pertama, karena disitulah terdapat pintu rahmat Allah bagimu”. Malam itu saya tidur di masjid.

Tanpa terasa, waktu subuh menghampiri rasa kantuk saya yang teramat dimalam itu. Tapi pagi itu saya berusaha melawan rasa kantuk dan berwudu lalu azan subuh. Banyak mata yang tertuju pada saya penuh tanya. Maklum, suara saya terbilang bagus. Itu menurut teman-teman saya di HMI.

Bukan untuk ria, dari dulu saya tinggal dimasjid menjadi muazzin. Itupun karena pak Imam masjid (Aba Jafar) senang dengan suara azan dan mengaji saya. Sejak SD hingga MTs, saya selalu masuk dalam juara MTQ. Di HMI saya selalu menjadi qori’ langganan bila ada acara-acara resmi.

Setelah solat subuh, saya dengar banyak Ibu-ibu yang menanyakan “Siapa anak yang azan subuh tadi? Suaranya merdu dan sahdu”. Meski dalam kegamangan karena tidak tau kemana saya harus tinggal, batin saya merasa terhibur, bahwa ternyata saya masih punya harga oleh sebahagian orang.   

Berbekal sisah uang ongkos bus, pagi itu saya mencari warung makan untuk sarapan. Maklum, sejak kemarin sore, perut saya keroncongan. Tak ada sesuatu apapun yang masuk ke dalam perut saya. Air putih pun tidak. Uang yang ada di dompet saya tinggal Rp 26.000, kalau ditamba makan siang, besoknya saya tidak punya uang sepeser pun.

Satu-satu harapan saya adalah berharap ada pertolongan Allah untuk mempertemukan saya dengan keluarga atau teman.....Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar