![]() |
Apa Agama Kartini? Menanggapi Imam Brotoseno |
Pagi
buta, saya terbakar oleh tulisan blog Imam Brotoseno di http://blog.imanbrotoseno.com/ yang
di-share oleh teman saya Raynold
Darmawan : https://www.facebook.com/raynold.darmawan?fref=ts. Tulisannya
mengulik-ulik agama Kartini—Islam atau Kristen?
Memang
keyakinan itu bukan wilayah haram yang tak perlu dijejali. Tapi menjejalinya
dengan pikiran yang terlampau parokial, justru tak elok. Membikin kartini
terkotak-kotak. Bukan baju kotak-kotak yang angker dan penuh berkat itu.
Maksudnya terkotak dalam kotak sempit keyakinan. Saya lebih suka memakai; Ilmu
keyakinan. Lebih pas dan rendah kadar konfliknya.
Pencarian tentang Agama dari Kartini tak pernah berhenti.
Ia merasa Islam tidak pernah memberi jawaban. Sejak lama ia buta terhadap Islam,
agama yang secara tradisional dipeluknya. Dalam suratnya ke Stella
Zeehandelaar ( 18 Agustus 1900 ). Kartini merindukan tafsir Al Qur’an bisa
dipelajari. Ia mengecam tentang metode pengajaran al Qur’an, tapi tak ada
seorangpun yang mengerti , karena memakai bahasa arab.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam buku Th Sumartana, ‘ Tuhan dan Agama dalam
pergulatan batin Kartini ‘ – Tahun 1993. Ia menggambarkan kedekatan Kartini
dengan ajaran Kristen. Terutama pengaruh sang guru, Ny Van Kol. Dari nyonya ini
Kartini belajar membaca bible, kitab suci Kristen. Ia mengerti sebagian prinsip
teologis ajaran Kristen. Ia menggambarkan kedekatannya dengan ayahnya sendiri –
walau dalam beberapa hal mereka tidak sependapat – sebagai kedeketakannya
dengan Tuhannya. Sebab itu ia menyambut baik, ketika Ny Van Kol memperkenalkan
Tuhan sebagai Bapa.
------------------------------------------------------------------
Mas
Imam, anda memposisikan Kartini pada suatu justifikasi referensi, lalu anda
mengeneralisir “Islam” sebagai agama yang ditolak Kartini. Saya kurang paham,
seperti apa Social background si penulis Sumartana, sehingga anda dengan latah
menggunakannya dan menempatkan Kartini sedemikian kerdil---begitukah?
Anda
seharusnya menulis dengan jujur, Kartini dengan standar metodologi pengetahuan
di zaman itu; dengan seluruh produk budaya dan struktur masyarakatnya, yang
membentuk watak keagamaan. Lalu dengan itu, anda tak perlu memaksa_simpulkan
sebagai “agama yang diterima; atau ditolak” Kartini.Entah itu Islam atau
Kristen.
Saya
ingin menawarkan sesuatu pada anda mas Imam, bahwa bukankah setting sosial suatu masyarakat dengan
segala produk kulturalnya, sangat berpengaruh pada konstruksi pengetahuan
seseorang? Termasuk pengetahuan agama Kartini?
Disitukah
posisi Kartini yang anda maksudkan? Dan bukankah Kartini kala itu hidup di
tengah-tengah kekentalan feodalisme Jawa? Dimana posisi agama-agama di
tengah-tengah dominasi feodalisme itu? Anda agak hati-hati menjelaskan ini.
Saya
juga bingung dengan Tulisan anda yang begitu memaksa Kartini itu Islam atau
Kristen. Sebegitu pentingkah sekte keimanan Kartini bagi anda? Untuk apa? Apa
manfaatnya?
Di
sinilah letak kacaunya agama, bila tak dipahami dengan epistemologi yang baik.
Justru anda tidak sedang menterjemahkan Kartini dan keimanan pada dimensi kedamaian
dan cinta kasih. Yang terjadi, anda itu memenjarakan kartini dengan faksi keyakinan—-yang
justru menimbulkan klaim yang tak ada untungnya bagi Indonesia.
Tafsiran
anda tak cocok untuk Indonesia hari ini, dimana budaya dan Keindonesiaan telah
menyatukan seluruh keyakinan. Mana yang penting, Perjuangan Kartini atau agama
Kartini?
Tulisan
anda ini; adalah sebuah politik keyakinan yang tak pantas menggunakan agama sebagai
alat Provokasi. Sudahlah, Kartini sentris itu juga terlalu Jawa- Sentris. Toh
ada juga Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien dll. Kenapa Kartini saja yang disakralkan,
apa karena Dia (Kartini) orang Jawa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar