Minggu, 20 April 2014

Poros Tengah, Koalisi Emosional


----“Yang paling kacau adalah, bila koalisi Indonesia raya, yang meng-unifikasi partai-partai tengah berbasis Islam (PPP, PKB, PAN dan PKS), hanya atas dasar emosi sekte keimanan. Memberi demarkasi keyakinan pada praxis politik secara ekstrem, justru memberi racun pada demokrasi yang sedang merangkak—berdiri”------------
(Munir)
---------------------------------------------------------------------
Judul berita hari ini PPP pecah. pecahnya partai peninggalan orde baru itu, dikarenakan ketua Umumnya : Surya Darma Ali (SDA) melampaui suara institusi PPP--mendukung salah satu capres (Prabowo).


Motivasi bergabungnya PPP ini belum terbaca. Faktor titik temunya pun belum terdeteksi. Namun dibeberapa hajatan penting Gerindra—partai besutan Prabowo; SDA terlihat nampang; ikut di sana.

Fungsionaris DPP PPP lainnya kebakaran jengkot. SDA dituding melampaui aspirasi DPP PPP. Jebloknya perolehan suara PPP di pemilu 9/4/2014 pun dituding—karena SDA mendukung Prabowo.

Sebenarnya sulit menangkap reasoning politik apa yang dipakai, sehingga mengatakan, suara PPP jeblok karena SDA mendukung Prabowo. Tak penting publik menengahi dua perdebatan itu; meski rasa ingin tahu begitu menggebu, kenapa SDA memilih Prabowo dan keukeuh dengan pilihannya. Ia (SDA) bahkan tak ambil pusing, meski PPP sedang menuju titik kronis perpecahan.

Di pemilu 2009, PPP pernah menyatakan dukungan ke Prabowo; lalu hengkang ke SBY. Saat ini kita bertanya, apakah perpautan SDA-Prabowo hanya soal masa lalu (2009) yang tak terselesaikan?

Atau karena rasa berdosa SDA setelah menghianati Prabowo di pemilu 2009. Dengan menjangkarkan koalisi PPP-Gerindra pada soal ini (masa lalu), maka koalisi PPP dan Gerindra, sebatas persinggungan emosional--rasa berdosa SDA, lalu menjadikan pemilu 2014 sebagai intstitusi penebus dan penghibur. Atau masih ada soal lain?  

Sama persis dengan PKB, yang kapok dengan “poros tengah”. Ketua Umum PKB Muhaimin menyatakan, mereka (PKB) punya catatan pahit dengan koalisi poros tengah; setelah Gusdur diguling bulat-bulat oleh elit dan pencetus poros tengah.

Jadi keengganan Muhamin pada koalisi poros tengah dan mencari formasi baru positioning PKB, juga semata soal “emosional”. Formasi politik PKB dan PPP hari ini, adalah hasil dari drama kekecewaan masa lalu. Bukan soal rakyat atau soal bangsa.   
   
Yang paling kacau adalah, bila koalisi Indonesia raya, yang meng-unifikasi partai-partai tengah berbasis Islam (PPP, PKB, PAN dan PKS), hanya atas dasar emosi sekte keimanan. Memberi demarkasi keyakinan pada praxis politik secara ekstrem, justru memberi racun pada demokrasi yang sedang merangkak--berdiri.

Saat ini, kita tak menemukan formasi koalisi atas dasar landasan-landasan ideal tentang rakyat dan bangsa. Unifikasi partai-partai tengah, mestinya didorong oleh soal-soal penting yang memautkan PPP, PAN, PKB, PKS dan Gerindra pada kesepahaman besar soal nilai dan perjuangan kerakyatan.

Pertanyaan penting saat ini adalah, kesepahaman apa yang manarik kuat partai-partai tengah itu, menentukan formasi politik untuk berkoalisi dengan beberapa partai besar itu? Apakah cuma urusan menang kalah, atau malampaui itu?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar