----“Yang
paling kacau adalah, bila koalisi Indonesia raya, yang meng-unifikasi
partai-partai tengah berbasis Islam (PPP, PKB, PAN dan PKS), hanya atas dasar
emosi sekte keimanan. Memberi demarkasi keyakinan pada praxis politik secara
ekstrem, justru memberi racun pada demokrasi yang sedang merangkak—berdiri”------------
(Munir)
---------------------------------------------------------------------
Judul berita
hari ini PPP pecah. pecahnya partai peninggalan orde baru itu, dikarenakan
ketua Umumnya : Surya Darma Ali (SDA) melampaui suara institusi PPP--mendukung salah
satu capres (Prabowo).
Motivasi bergabungnya PPP ini belum terbaca. Faktor titik temunya pun belum terdeteksi. Namun dibeberapa hajatan penting Gerindra—partai besutan Prabowo; SDA terlihat nampang; ikut di sana.
Fungsionaris
DPP PPP lainnya kebakaran jengkot. SDA dituding melampaui aspirasi DPP PPP.
Jebloknya perolehan suara PPP di pemilu 9/4/2014 pun dituding—karena SDA
mendukung Prabowo.
Sebenarnya
sulit menangkap reasoning politik apa
yang dipakai, sehingga mengatakan, suara PPP jeblok karena SDA mendukung
Prabowo. Tak penting publik menengahi dua perdebatan itu; meski rasa ingin tahu
begitu menggebu, kenapa SDA memilih Prabowo dan keukeuh dengan pilihannya. Ia (SDA)
bahkan tak ambil pusing, meski PPP sedang menuju titik kronis perpecahan.
Di
pemilu 2009, PPP pernah menyatakan dukungan ke Prabowo; lalu hengkang ke SBY.
Saat ini kita bertanya, apakah perpautan SDA-Prabowo hanya soal masa lalu
(2009) yang tak terselesaikan?
Atau karena
rasa berdosa SDA setelah menghianati Prabowo di pemilu 2009. Dengan
menjangkarkan koalisi PPP-Gerindra pada soal ini (masa lalu), maka koalisi PPP
dan Gerindra, sebatas persinggungan emosional--rasa berdosa SDA, lalu menjadikan
pemilu 2014 sebagai intstitusi penebus dan penghibur. Atau masih ada soal lain?
Sama
persis dengan PKB, yang kapok dengan “poros tengah”. Ketua Umum PKB Muhaimin
menyatakan, mereka (PKB) punya catatan pahit dengan koalisi poros tengah;
setelah Gusdur diguling bulat-bulat oleh elit dan pencetus poros tengah.
Jadi
keengganan Muhamin pada koalisi poros tengah dan mencari formasi baru positioning PKB, juga semata soal “emosional”.
Formasi politik PKB dan PPP hari ini, adalah hasil dari drama kekecewaan masa
lalu. Bukan soal rakyat atau soal bangsa.
Yang
paling kacau adalah, bila koalisi Indonesia raya, yang meng-unifikasi
partai-partai tengah berbasis Islam (PPP, PKB, PAN dan PKS), hanya atas dasar
emosi sekte keimanan. Memberi demarkasi keyakinan pada praxis politik secara
ekstrem, justru memberi racun pada demokrasi yang sedang merangkak--berdiri.
Saat
ini, kita tak menemukan formasi koalisi atas dasar landasan-landasan ideal tentang
rakyat dan bangsa. Unifikasi partai-partai tengah, mestinya didorong oleh
soal-soal penting yang memautkan PPP, PAN, PKB, PKS dan Gerindra pada kesepahaman
besar soal nilai dan perjuangan kerakyatan.
Pertanyaan
penting saat ini adalah, kesepahaman apa yang manarik kuat partai-partai tengah
itu, menentukan formasi politik untuk berkoalisi dengan beberapa partai besar
itu? Apakah cuma urusan menang kalah, atau malampaui itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar