![]() |
Bibi Isa berkerudung merah bagian kanan (foto : ms.doc) |
Menyebut nama kaleso, impresi saya langsung
menyentuh hal-hal yang beraroma liturgis, karena dulu kaleso hanya dinikmati
pada hari-hari besar keagamaan; seperti Maulid nabi Mumamad saw, Isra mi’raj,
dan malam Nujulul qur’an.
Kalau pun dijual di pasar, tapi sedikit dan tak seramai sekarang. Itu dulu. Sekarang kaleso lebih berimpresi pasar; untuk dijual, ramai dan hasilnya menyekolahkan anak. Kalau pagi jam 08.30 anda ke dermaga kapal Baranusa, susunan meja ibu-ibu penajaja kaleso berbaris. Pemandangan pelabuhan seperti karpet kaleso. Berjejer rapi.
Di antara jejeran penjaja panganan kaleso
itu, bibi saya ada dan ikut berjibaku dengan para pembeli. Kaleso itu jenis
panganan sebangsa lontong. Tapi kaleso dibungkus dengan daun kelapa atau daun
gewang. Sebelum dikukus atau dimasak, beras kaleso ditumis lebih dahulu dengan
komposisi bumbu berupa bawang merah dan pala. Jadi rasanya lebih plural dari
lontong.
Biasanya, pagi buta, subuh pukul 03.30, bibi
sudah bangun bergegas. Kalau ada suara perabot di dapur samping rumah, pasti
itu bibi yang mulai menyiapkan kaleso untuk dijual ke pelabuhan. Paket lauk
keleso bibi selalu dengan ikan goreng. Kalau bukan ikan Tembang, berarti
Tongkol atau Kombong goreng balik tomat.
Aroma racikan kaleso bibi, tajamnya menusuk
hidung. Bikin ngiler dan menohok rasa lapar. Aroma kaleso bibi
juga isyarat bangun solat subuh. Kalau aroma kaleso berbumbu bawang dan pala
tumis sudah melintasi dan terendus di hidung, berarti tanda subuh tiba, karena
bibi sudah beraktivitas di jam itu. Aroma kaleso bibi seperti beduk subuh,
menebar aroma, menghentak cita rasa dan memelek-kan mata.
Bibi menjual kaleso dari pagi jam 08-30
sampai sekitar pukul 14.00. Kaleso bibi dan ibu-ibu di kampung (Baranusa),
umumnya dibeli oleh para calon penumpang dari Baranusa, atau penumpang transit
dari Flores Timur (Larantuka) tujuan Kalabahi. Sampai sekitar pukul 14.00 itu,
pasti kaleso bibi laku habis. Kadang juga tak habis terjual.
Kalau pulang kampung, saya selalu suka
menunggu sisa kaleso bibi yang tak habis terjual. Ya…rasanya tetap top
markotop, apalagi ditimpali ikan kombong atau tembang goreng balik tomat.
Merasakan dua nikmat sekaligus, pertama :
karena itu buatan tangan bibi sendiri,dan kedua, bumbunya yang berani
dan menusuk hidung. Sulit merasakan sensasi yang enigmatik itu di lain tempat,
selain kaleso bibi.
Keringat dan peluh bibi ini berbuah manis,
beberapa anaknya bisa kuliah hingga perguruan tinggi. Bukan main-main,
kuliahnya hingga ke Bandung Jawa Barat. Saya cuma kuliah di Kupang, lalau
rantau ke Jakarta.
Inilah mimpi seorang ibu, yang ada di pelosok
desa NTT. Peluh dan tenaganya, menembus ganasnya selat Ombai dan selat Bali,
demi mewujudkan mimpi anaknya bersekolah di bumi Pariyangan.
Bibi adalah profil ibu-ibu ulet di kampung
kami. Mereka mengilhami kesadaran masyarakat, bahwa betapa pentingnya
menyekolahkan anak, meski harus bercucur peluh sebagai apapun.
Keuletan bibi, adalah kesadaran menembus zona
mainstream, kesadaran yang mahal, dan lahir ketika di kampung masyarakat secara
komunal, menganggap, tak perlu bersekolah tinggi, bila sudah bisa bercocok
tanam dan menembak seekor “ikan kabakku” di laut Baranusa.
Kalau dua soal hidup ini (bercocok tanam dan
tangkap ikan) bisa dijawab, maka disegerahkan berumah tangga dan beranak pinak
untuk membesarkan nama suku dan keturunan. Maka tak heran, di kampung kami,
banyak anak usia sekolah yang sudah berumah tangga dengan family size yang
besar, tapi defisit kesejahteraan.
Disinilai model keluarga horizontal terbentuk
masif. Efek jangka panjangnya, pertumbuhan SDM menjadi rendah, dan hanya bisa
menghasilkan tenaga buruh kasar dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) kemudian hari.
Profil ibu-ibu di desa yang ulet seperti
bibi, adalah sebuah revolusi kesadaran, bahwa untuk maju, tak perlu pasrah dan
menyandarkan nasib pada suatu titik zona tak tertolong. Pasrah pada takdir !
Keuletan bibi adalah sebuah revolusi
kesadaran aktif, untuk tidak melulu melahirkan nasib keluarga yang horizontal,
dengan nasib dan masa depan yang sama persis. Paling tidak, saya menangkap
pesan (message) di balik keuletan bibi, bahwa kelak kalau bibi
hanya seorang penjual kaleso, anaknya bisa jadi guru, dosen, pejabat daerah
bahkan mentri. Maka terjawablah, kenapa bibi keukeuh menyekolahkan anaknya
dengan berpeluh keringat menjual kaleso sepanjang hari. Bibiku idolaku []
Tags:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar