Judul buku :
Devolusi Negara Islam
Penulis : Prof Dr. Ali
Asghar Engineer
Penerbit : Pustaka
Pelajar
ISBN : 079-9289-68-8
Tebal : v+346
Peresensi : Munir A.S
![]() |
Resensi Buku : Devolusi Negara Islam |
Kontroversi
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan pemahaman terhadap konsepsi negara Islam,
adalah suatu corak ideologisasi agama yang kerap tak beradab dan bengis.
Nilai-nilai agama dikulitinya, lalu dijadikan jubah kekuasaan, lantas
menafsirkan agama persis seperti malaikat pencabut nyawa yang kapan saja boleh meranggut
nyawa manusia. Mengambil alih kuasa Ilahi ke dalam gengggamannya yang kotor dan
berlumuran darah.
Lantas
di tengah euphoria negara Islam itu, nama Tuhan dijadikan yel-yel
pembantaian, meski Tuhan yang diklaimnya, tak membenarkan sebuah peperangan tanpa
musuh, dan hanya karena syahwat berkuasa yang menumpah. Maka dengan kesadaran
demikian, membaca buku Prof
Dr. Ali Asghar Engineer, seakan memuntahkan sekian soal pelik konflik negara-negara
pemilik agama (Timur Tengah) yang acap kali menampilkan tuhan (t) dan agama formal
(a) dalam bentuk wajah yang sangar dan culas. Dan menyalami soal pelik ini,
menyadarkan kita pada pentingnya menjelajahi konsepsi relasi Islam dan negara,
dan menyandingkan keduanya dalam impresi kemanusiaan yang genuine.
Arah baru revivalisme Islam, menjadi
kerisauan bagi Ali Asghar Engineer. Titik kerisauan itu bermuara pada bentuk
pencarian jati diri negara-negara mayoritas Islam dalam mereformalisasi hubungan
negara(state) dan Islam (ideology).
Itikad me-reformalisasi Islam dalam relasinya dengan negara ini, sebagai akibat
penolakan ummat Islam dan khususnya di kawasan Timur tengah terhadap dekadensi
moral kemanusiaan Barat dan ketidakadilan dalam merespon konflik-konflik antar
bangsa. Semisal konflik
Israel-Palestina, Irak, Afganistan dan pemboikotan Iran. Barat dan khususnya
Amerika Serikat (AS), selalu memainkan standar ganda dalam menakar
konflik-konflik di Timur Tengah.
Namun celakanya menurut Engineer
dalam buku setebal 346 ini, formalisasi Islam itu cenderung diterjemahkan dan
dimanifestasikan secara parsial. Engineer menulis; Islam dan formalisasi terhadapnya,
diterjemahkan sebatas hukum qisas, potong
tangan dan rajam bagi pezina dan berjilbab atau cadar bagi yang wanita.
Di lain sisi, arah baru
kemajuan ekonomi akibat sokongan bisnis perminyakan, turut menghela
negara-negara Timur Tengah ke kancah bisnis global. Seiring dengan itu,
kesadaran politik pun kian membuncah. Namun disaat yang sama, pertumbuhan
ekonomi yang disertai surplus kesadaran politik dan demokrasi, justru menimbun
dilema baru dalam peta konflik Negara-negara Timur Tengah.
Blok-blok politik dan
ekonomi pun tercipta secara teritori. Dalam buku ini, Engineer menyebutkan
“Meningkatnya kesadaran politik dan demokrasi di kalangan muslim,
cenderung menciptakan persoalan-persoalan tertentu dan memunculkan
wilayah-wilayah ketegangan baru di Timur Tengah (Halaman : 1).
Ketegangan-ketegangan politik
itu cenderung membuncah pada wacana negara Islam. Kondisi-kondisi inilah yang
memantik Engineer mengkaji asal-muasal negara Islam, dengan mendekati struktur
sosial politik masyarakat Arab (Mekkah-Madina) dan kehadiran nabi Muhammad SAW
dalam pemetaan konsep relasi agama negara. (baca halaman : 17). Karena di kedua
tempat suci ini (Mekkah dan Madina), adalah titik penting sejarah kebangkitan
politik Islam.
Dalam telaahannya Engineer
juga menguraikan, bahwa evolusi negara Islam adalah suatu terminologi yang tak
pernah ditemukan dalam Islam. Dan khususnya masyarakat Arab Mekkah dan Madina (sebelum
datangnya Muhammad saw). Piagam Madina, yang selama ini dijadikan basis argument
konsepsi negara Islam, adalah sebuah konsensus dan da’wah simpatik Nabi
Muhammad, dalam rangka menurunkan tensi ketegangan antara kelompok pengikutnya
yang ada di Madina dan penantangnya ajarannya dari Mekkah pasca nabi Muhammad
hijrah dari Mekkah ke Madina. Dengan demikian, postulat piagaman Madina, bukanlah
tonggak sejarah negara Islam (Islam
state).
Bagi Muhammad saw,
problem terbesar dalam relasi sosial dan kehidupan masyarakat Mekkah ketika itu
adalah “ketidakadilan dan disparitas antara yang kaya dan miskin. Fanatisme
kesukuan, borjuasi kepala-kepala suku dengan faham merkantilisme, adalah patologi sosial akut yang harus didekonstruksi
oleh ajaran yang dibawanya (Islam).
Nabi Muhammad saw dimasa-masa
itu sadar, bahwa problem Mekka adalah problem struktur sosial yang tak adil dan
menindas (despotic). Pendekatan atas
problem struktur sosial ini harus didekati secara kultural. Bukan formal. Proses
pembongkaran struktur sosial pun tak dilakukan secara radikal, tapi secara gradual
dan simpatik. Nilai-nilai ke-islaman ditransformasikan secara perlahan-lahan
dalam setiap celah-celah tradisi yang sejalan. Transformasi kesadaran etik dan nilai-nilai
kemanusiaan, adalah ujung tombak da’wah yang telah menghela kejayaan Islam
dimasa nabi Muhammad, hingga puncak kebangkitan Islam di abad pertengahaan.
Dengan pola ini, menurut Engineer,
nabi Muhammad saw tak mencontohkan sebuah praktek kehiduapan bernegara, tapi
bermasyarakat. (Halaman : 325). Da’wah yang dilakukan adalah merubah struktur
sosial masyarakat Mekkah-Madina dengan strategi yang sangat sosialistis. Dari
orang per orang, komunitas hingga melahirkan suatu getaran sosial yang
menggerahkan penguasa Mekkah-Madina ketika itu yang terdiri dari
pemimpin-pemimpin suku yang borjuistik.
**
Pasca konfrontasi Islam
dan Barat di abad ke-19, dan revoluasi minyak diawal dekade 70-an, ummat Islam
kembali menapaki jejak kebangkitan politik Islam. Khususnya terkait tumbuhnya
kesadaran hubungan Islam dan negara. Disaat yang sama, peradaban Barat yang
kian menggeliat dan menggurita di segenap kehidupan mondial, mendorong ummat
Islam dunia mencari jati dirinya mengejar keterbelakangan. Keterkejuatan itu
menyebabkan tak jarang memaksakan ummat Islam menterjemahkan relasi Islam
negara secara serta-merta dan parsial. Termasuk formalisasi syariat Islam dan
segala derivasinya yang cenderung latah.
Buku Devolusi Negara
Islam, mencoba membedah probelem Islam antara tuntutan formalisme dan probelem
kultural Islam. Disatu sisi formalisasi Islam merupakan fenomena, namun
ditempat yang lain, gagasan formalisasi syariat tak mendapatkan legitimasi
skripturalistik dalam khazanah Islam otentik pada totalitas perjalanan Muhammad
saw sebagai basis telaahan.
Membedah kecenderungan mutkahir
formalisasi Islam dan segala macam komponen penggerak seperti ISIS,
menggerakkan kita untuk kembali menghimpun puing-puing khazanah Islam yang
tercecer dan berserahkan begitu saja, hingga menemukan Islam dan pemahaman
atasnya yang lebih kulturalistik dan simpatik. Semoga. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar