Judul Buku : Dreamas From My father'S A Story Of Race and
Inheritance Penulis : Barak Obama
Penerbit : Three Rivers
Press, New York
Tebal buku : 493 Halaman
Peresensi : Abdul Munir
Sara
![]() |
Peresensi : Munir A.S |
Buku
Dreams from my father karya presiden Amerika Barak Obama, adalah lintasan hidup
Obama yang dipenuhi despotisme rasial. Dari masa kanak-kanak hingga menjadi
presiden AS. Buku setebal 493 halaman ini memiliki space
sosial yang luas tentang egalitarinisme. Baik dalam telaah masa kanak-kanak
Obama, masa-masa dimana ia harus mengikuti Ibunya berkelena di bebera belahan
dunia, hingga menjadi politisi dan sekarang berada di puncak kesuksesan sebagai
satu-satunya presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat (AS).
Sejak
diterbitkan buku ini pertama kali pada tahun 1995, banyak sudah resensi yang
mengulas habis aspek jejak hidupnya. Baik dari lika-liku semasa bersama Ibunya
di Hawai, Jakarta-Indonesia dan beberapa negara yang pernah disinggahi sang
Ibu.
Namun
semua aspek ulasan hanya menerangkan sisi-sisi formal silsilah Obama, serta
kisah-kisah melo dramatik yang dilewati Barry (nama kecil Obama). Mulai dari
indahnya suasana pantai Hawaii negara asal ibunya, serta bentangan sawah
menghijau dan kenangan masa kanak-kanak di indonesia yang didomisilinya selama
tiga tahun.
Namun,
uraian spesifik hidup terkait beberapa gerakan keberpihakan sosial dari keluarga,
baik dari kakek, ayah dan terutama Ibunya, tak diselami secara detail pada
beberapa resensi yang telah ada sebelumnya.
Padahal
tentang kesadaran dan gerakan keberpihakan sosial ini, sering muncul dan
berbicara sendiri terkait hiruk-pikuk hidup Obama yang serba maknawi dalam
Dreams From My Fathers. Dalam buku setebal 493 halaman ini, dideskripsikan
secara rinci oleh Barry, bahwa Ibunya telah menghabiskan 10 tahun untuk
membantu kaum perempuan di Asia dan Afrika. Mengangkat mereka dari kebodohan
dan keterbelakangan sumber daya.
Ibunya
pun telah menunjukkan kiprahnya melalui suatu gerakan sosial terorganisir untuk
membebaskan kaum perempuan dari realitas keterbelengguan menuju pencerahan dan
pembebasan.
Walaupun
dimasa-masa itu, ancaman kematian terus membuntuti ibunya akibat serangan
kanker kronis disaat Obama mulai tumbuh sebagai seorang anak yang mulai
mengerti tentang nilai hidup (13-14). Dari rekam jejak juang Ibunya,
karakteristik seorang Obama mulai tumbuh dan menjadi cikal-bakal nilai-nilai
sosial yang keseluruhan perjuangan sosialnya hingga menjadi presiden AS.
Tentang
Dreams From My Fathers ini, perlu kita telaah dalam beberapa dimensi pokok
realitas yang memberikan artikulasi tentang sosok dan karakteristik Obama, berikut
sepak-terjang perjalanan hidupnya yang serbah unik dan memukau.
Masa
itu, perkawinan antar ras masih dianggap sebuah kejahatan. Sebagaimana yang
terjadi di hampir separuh negara bagian Amerika Selatan. Saat itu Mungkin saja
ayahnya bisa digantung, walaupun hanya memandang Ibunya yang berketurunan kulit
putih.
Meskipun
di tengah-tegah situasi seperti itu, Ayah dan Ibu Obama nekat melangsungkan
pernikahan. Meski tak seperti layaknya sebuah pernikahan sungguhan yang
dimeriakan dengan tarian Hawai, kue pengantin, cincin, dan pelepasan pengantin
perempuan.
Tak
ada satupun pihak keluarga yang menghadiri pernikahan itu. Yang ada hanyalah
sebuah serimoni kecil pernikahan sipil dan seorang hakim setempat. Semuanya
tampak rapuh bila ditinjau kembali, dan terkesan begitu sembrono (halaman 43).
Dengan
lingkungan sosial seperti itulah Obama dilahirkan. Dimasa kanak-kanaknya,
kepedihan terhadap cengkraman rasisme begitu menekan batinnya. Rasa kemanusiaan
dan egaliterianisme seolah tak berkutik oleh sebuah arogansi dan rasa lebih unggul
dari satu kelompok ras manusia atas ras lainnya.
Diceritakan
Obama : dengan lingkungan seperti itu keturunan rasku hanya membawa sedikit
masalah bagi kakek nenekku, dan mereka segera mengikuti menghina yang biasa
dilakukan oleh penduduk lokal terhadap pendatang yang berbeda ras.
Terkadang
dengan sedikit miris, kakek melihat para turis yang memandangku bermain di
pasir, dia akan mendatangi mereka dan berbisik dengan nada menghormat, bahwa
aku adalah cucu Raja Kamehameha. Raja pertama Hawaii (Halaman 46).
Dalam
setuasi yang terpinggirkankan akibat rasisme inilah, mengakibatkan ayah Barry
pergi menghilang tampa pesan, kabar dan berita ketika ia masih
kanak-kanak.
Tumbuhnya
sikap empati dan meraskan nasib dan penderitaan orang lain telah ada, dan
menjadi tumpukan awal rasa kepeduliaan sejak Ia bersama Ibu dan Bapak tirinya
tiba di Indonesia. Selama tiga tahun di Indonesia, beragam realitas sosial ikut
mengukuhkan menumbuhkan rasa kepedulian yang tinggi dalam diri Obama.
Kisah
demi kisah diurutkannya tentang penderitaan orang-orang kecil yang dihina
dengan materi dan kedudukan. Suatu kenyataan yang disaksikan dengan mata mungilnya
pada masa-masa kecilnya di Indonesia
Dikisahkan
Obama; suatu ketika Ia melihat pengemis berada di mana-mana. Sebuah geleri
orang-orang sakit. Lelaki, perempuan dan anak-anak menggunakan sobekan kain
yang berselimutkan debu. Beberapa pengemis tidak berlengan. Lainnya tanpa kaki.
Korban-korban
penyakit kudis atau polio atau lepra yang berjalan dengan tangan mereka, atau
meluncur dengan gerobak yang dibuat sembarangan. Kaki-kaki mereka terlipat di
belakang bagai manusia karet.
Apa
yang di paparkan buku ini, bukanlah suatu penyingkapan fakta semata, tetapi suatu
keyakinan yang direfleksikan oleh Obama dari masa-masa ketika ia masih duduk di
bangku SD di Indonesia.
Karena
rasa ibahnya yang dalam terhadap realitas orang-orang miskin-papa yang dilihat,
pada mulanya Ia hanya melihat Ibunya menyerahkan sejumlah uang kepada siapa
saja yang berhenti di depan pintu rumah, lalu Obama mengikuti yang dilakukan
Ibunya dengan perasaan jujur. Bahkan ia sering kali melakukan itu, hingga
sekali waktu ia pernah ditegur ayah tirinya yang biasa dipanggil Lolo (61-62).
Nilai-nilai
kepedulia itu didapatkannya dari sang Ibu yang juga begitu anti terhadap
kemewahan hidup dan konsisten pada kesederhanaan yang eksistensial. Pernah
suatu waktu, Barry atau Obama kecil menguping pertengkaran yang terjadi antara
Lolo ayah tiri dengan Ibunya.
Biasanya
pertengkaran itu berkaitan dengan penolakan Ibu Obama terhadap ajakan ayah
tirinya untuk menghadiri pesta makan malam yang serbah wah di perusahaan tempat Lolo bekerja. Pesta akbar yang dihadiri
para pengusaha dari AS dan Louisiana yang biasa menepuk punggung Lolo dan
membanggakan sogokan yang telah mereka berikan untuk mendapatkan hak-hak
pengeboran lepas pantai yang baru. Sementara isteri-isteri mereka akan mengeluh
tentang kualitas pembantu Indonesia yang bodoh dan bebal.
Ibu
Obama sering menolak ajakan-ajakan Lolo pergi makan bersama di acara-acara
kantor tempat Lolo bekerja. Bahkan untuk menjaga jarak atas prinsip
kesederhanaan itu, Ibu Obama menegaskan kepada Lolo, bahwa ia berbeda dengan
orang AS pada umumnya yang suka pada gaya hidup borjuasi yang hedonistik.
Dari
secuil persitiwa sosial dimasa kecil inilah, menghantarkannya pada sebuah kepedulian
besar. Hingga pada tahun 1983, Obama memutuskan menjadi aktivis penggalangan
masyarakat (community organizer).
Tentang
pilihan hidupnya sebagai aktivis, dikenangkan kembali Obama; “tak banyak
penjelasan tentang profesi ini. Aku tak mengenal orang yang mencari nafkah
dengan cara ini.”
Saat
teman-teman kuliahnya menanyakan pilihan hidup yang digelutinya sebagai seorang
aktivis, ia tak dapat menjawab langsung. Malah ia menyuarakan perlunya
perubahan. Perubahan di Gedung Putih, tempat Reagen dan antek-anteknya
melaksanakan pekerjaan kotor (halaman 168).
Perubahan
di Kongres AS yang tak bergigi dan korup. Perubahan dalam semangat negara AS
yang ketika itu teramat maniak dan asik dengan dirinya sendiri.
Menurut
Obama, perubahan tak akan muncul dari atas. Perubahan akan muncul dari rakyat
akar rumput (grass-roots level) yang diberdayakan.
Melalui
gerakan ini pula Ia mencoba melawan arus-deras serta kabut kelam rasisme yang
masih terus menutup mata dan pandangan kemanusiaan di AS.
Salah
satu ucapan Obama yang cukup mencengangkan dan membangkitkan tumbuhnya
perjuangan keras untuk keluar dari dikotomi ras hitam adalah “komunitas (hitam dan
putih) bukanlah pemberian. Setidaknya bagi warga kulit hitam, komunitas harus
diciptakan, diperjuangkan dan dirawat sebagai kebun. Ia berkembang atau menciut
sejalan dengan mimpi manusianya dan dalam gerakan hak sipil. Mimpi-mimpi ini
besar ukurannya (halaman 167-169).
Dipertengahan
perjalanan hidup Obama, Ia sering diterangi Spiritualitas. Meski sesekali ia
sering protes dengan kebijakan gereja yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan
dan realitas kehidupan masyarakat yang terkungkung oleh kebijakan negara.
Ia
sering kali melontarkan pertanyaan yang membingungkan kepada elit Gereja
Trinity, Sebuah Gereja tua bersejarah milik orang kulit hitam yang terletak di
South Side.
Dalam
kaitannya dengan ini, Obama menulis “Jika orang seperti Pandeta Wright tak bisa
bersikap, jika Gereja seperti Trinity menolak terlibat dalam kekuasaan yang
nyata dan konflik yang sangat beresiko, lalu bagaimana caranya agar tetap
menjaga keutuhan komunitas yang lebih luas?
Dalam
halaman berikutnya Bab ini, Obama pun berseloroh bahwa terlalu banyak
berargumen dengan Tuhan, hingga tak bisa menerima bahwa keselamatan bisa
diraihnya begitu mudahnya (halaman : 327-328)
Di
bab terakhir dari buku
Dreams From My Fathers ini seolah
merepresentasikan obsesi besar perubahan dalam diri Obama. Seperti yang pernah
diimpikan Sang Ayah Barak Obama dimasa silam, untuk dapat memardekaan diri,
melepaskan diri dari kungkungan rasisme yang memenjarakan hak hidup.
Disini
Obama mencatat, sebagaimana dalam kisah-kisah pergulatan hidup yang
diceritakan oleh neneknya ketika suatu waktu barak Obama berkunjung ke keluarga
besarnya di Kenya.
Seperti
anak-anak muda lain, ayah Obama terpengaruh pada gagasan kemardekaan. Ia pulang
sekolah dan menceritrakan rapat-rapat untuk mengagendakan perlawanan yang ia
lihat (halaman 465). Setelah Ayah Obama pindah ke Nairobi, pikirannya mulai
beralih pada dinamika politik di Nairobi dimana orang-orang Kikuyu mulai
mengobarkan peperangan di hutan.
Barak ayah Obama mulai
keseringan mengikuti pertemuan-pertemuan politik di negeri itu sepulang bekerja.
Ia pun mengenal beberapa pemimpin KANU.
Pada suatu saat Barak pernah
ditahan oleh polisi ketika ia sedang mengikuti rapat dengan alasan telah
melanggar peraturan tentang rapat. Ia pun dipenjara.
Selepas
keluar penjara, meskipun bebas dengan jaminan, Barak kemudian merefleksikan
banyak hal, termasuk perkataan ayahnya Onyago (kakek Obama) dan memutuskan
untuk bekerja dan melanjutkan studinya yang belum sempat tercapai. Namun
semangat membebaskan diri dari ketidak_adilan dan diskriminasi ras selama hidup
terus diimpikannya (halaman 466-467).
Dari
kisah perjalanan dan petualangan kakek dan ayahnya, yang meringkuk dalam
hegemoni dan desosialisasi arogansi kulit putih, telah memberikan semangat
untuk bangkit melawan takdir sosial sebagai anak yang terlahir dari persilangan dua gen beda ras. Ayahnya yang
berketurunan kulit hitam dan ibunya yang dari keturunan ras kulit putih.
Meskipun
tumbuh besar dengan sebuah kegetiran perasaan serta dendamisme masa lalu
terhadap orang kulit putih, lagi-lagi perasaan masa lalu itu tak membuatnya
dendam. Kenyataan membuat ia menoleh ke belakang bahwa ibunyapun adalah seorang
keturunan kulit putih dari Hawaii AS.
Terlepas
semua itu. Realitas masa lalu yang serba kompleks telah membuatnya memiliki
kematangan sosial yang mumpuni. Jika
kita cermati isi buku Dreams From My Fathers, dan menghayati bab demi
bab, maka yang membekas dalam pikiran kita adalah, buku ini mencitrakan suatu
kepribadian yang ingin bebas dari belenggu sosial atau suatu takdir sosial yang
diskriminatif.
Sekilas
memang terkesan masa lalu yang getir itu menghendaki suatu akumulasi dendam
yang mendalam. Namun dengan dialektika batin pada kenyataan masa lalu Obama,
antara ayah dan ibu yang bertemu dan memadu hidup dalam sebuah penolakan yang
radikal atas perbedaan warna kulit. Pergolakan ini membuatnya semakin mengerti,
bahwa keragamaan adalah hukum alam dan justru harus bisa diterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar