Musik
dangdut Indosiar malam ini cukup menyengat. Di tv sebelah (RCTI) juga ada
Indonesian Idol. Saya bolak-balik kedua canel tv itu.
Entah
kenapa, passion bermusik saya begitu
menyala malam mini. Padahal emosi
romantika saya bergerak standar saja. Batin saya tak galau-galau amat.
Hampir satu jam lebih di depan tv. Rupanya lagu dangdut begitu harmoni dengan cita rasa kebatinan saya. Bukan kenapa-kenapa; ini cuma soal emosi saja.
Tapi
bagi saya; lebih dalam, bermusik atau menikmati musik juga harus punya
orientasi nilai. Kalau genre-genre musik di
Indonesian Idol, cantel-nya di segment--kelas tertentu saja.
Lagu-lagu yang dinyanyikan kebanyakan lagu ber-genre Barat. Meski pronunciation Inggris beberapa penyanyi Idol berantakan. Jadi jangkauaan lagu-lagu ber-genre Barat itu cantelnya di kalangan masyarakat urban kelas menengah ke atas. Atau kalangan terpelajar yang melek dengan genre musik Barat. Kasarnya yang bisa bahasa Inggris. Atau yang “maksain” diri bisa omong Inggris.
Saya hakkul yakin orang-orang pesisir di Kampung saya, lebih memilih nonton
Akademi Dangdut dari pada Indonesian Idol. Jadi soal musik ini tak cuma soal
hiburan, tapi juga kelas dan patron budaya.
Petugas PLN di kampung saya
pernah dikeroyoki masyarakat, hanya gara-gara listrik padam saat konser final
Kontes Dangdut Indonesia (KDI) yang disiarkan TPI. Peristiwa ini terjadi di desa
Baranusa, Kabupaten Alor-NTT tuju tahun silam.
Ibu
saya di kampung lebih mengenal Elvi Sukaesi, Iis Dahlia atau Imam S Arifin. Kalau di tanya siapa Ahmad Dani, Titi Dwi Jayati, atau Tantri-Kotak,
pasti balik Tanya, makhluk apa itu?
Jawaban
seperti ini karena daya lekat dangdut itu lebih kuat. Ini soal bisa atau tidaknya suatu genre musik diterima di
suatu lokus sosial. Dangdut itu masih melayu-sentris. Kultur Melayu yang
meng-Indonesia, secara sosiologis membuat musik dangdut lebih dirasa pas dan
cocok. Hanya soal pas atau cocok.
Saya
bahkan sering mewanti-wanti, bahwa suatu unsur nilai akan terlihat mengakar dan
orisinil, bila ia mampu bermetamorfosa dan menyerap produk
nilai yang lahir dari rahim sosiologis masyarakat tersebut. Penerimaan musik dangdut di kalangan orang-orang desa atau
masyarakat kelas menengah ke bawah, karena dangdut meng-akrabi kultur Melayu-sentris, yang dianggap
representasi Indonesia.
Jadi dangdut
mainstream juga kerap dianggap mewakili
patriotisme ke_Indonesiaan. Beda dengan musik
pop atau
rock yang kerap membawa teritori suasana kebatinan kita lebih keBarat-Baratan. Saya ingin argumen pembaca “lebih dalam” soal
ini.
Meski
ada pengecualian bagi saudara-saudara saya di Ambon, NTT dan Papua; yang
(terlihat) genre musik pop lebih memasyarakat. Faktor sosio-religius ikut
meng-konstruksi warna selera musik suatu komunitas sosial.
Tanpa
saya jelaskan, tentu pengetahuan sosial kita sudah bisa menjangkau soal ini.
Tapi saya ingin memberikan benang merah, bahwa warna musik itu bukan soal agama dan keyakinan. Tapi soal produk sosial--kultural.
Karena lagi-lagi, agama dalam kategori tertentu merupakan produk budaya. Agama
juga kerap meng-okupasi unsur-unsur sosial kultural menjadi dimensi inti nilai.
Intinya, musik dan agama itu sama-sama “universal”.
Di NTT
misalnya, orang-orang di pesisir yang mayoritas muslim, kecenderungan musiknya
lebih ke dangdut. Itu terlihat jelas di acara pesta atau hajatan akbar apapun.
Lagu dangdutlah yang sering diputar. Dulu (sekitar) tahun 1980-an, musik-musik
yang sering saya dengar di kampung adalah, lagu-lagu gambus Arab dan Melayu atau Qosidah.
Sebelum
ada joget dangdut di acara-acara perkawinan, tarian dani-dana (Melayu) menjadi
kebiasaan yang dilakukan pasca pesta nikah di kampung. Tesis saya, kultur
Melayu-Islam, berpengaruh kuat; dan ikut mengkonstruksi selerah musik
masyarakat pesisir-Muslim. Saya tak ingin mengeneralisir, tapi observasi saya,
faktanya demikian.
Pendapat
saya ini tidak serta-merta menjadi kunci, kenapa dangdut lebih merakyat, tapi unsur-unsur
yang saya jelaskan, merupakan satu dari sekian faktor, terkait segmentasi musik
dangdut dan pop, atau genre musik di luar dangdut.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar