Minggu-minggu
ini berita kekerasan seksual menghangat. Mengutuk kekerasan seksual, sama
halnya mengutuk permisifitas seksual yang kian tersaji di ruang publik dengan
berbagai media. Semua tersaji begitu dekat dan mudah diakses siapapun.
Betulkah?
Oleh Komnas anak menyampaikan, kekerasan seksual yang paling masif adalah yang terjadi di sekolah. Kasus JIS dan Emon, adalah runtuhan kebejatan sosial yang kembali mengusik dan menyadarkan publik, bahwa bencana moralitas itu sedang terjadi di balik tembok kelas.
Digitalisasi permisivitas seks yang kian masif, tak dipungkiri menjadi salah satu faktor mengapa kejahatan lendir itu telah menjangkiti masyarakat di segala usia. Emon, remaja yang mencatat rapi korban-korban kebejatannya, adalah separuh dari runtuhnya nilai-nilai moral pada anak Indonesia.
Membayangkan
Emon dan korban permisivitas seksual berikutnya, sama menakutkan masa depan
Indonesia di tangan generasi yang moralnya kian keropos. Lalu dimana letak soal
kerawanan sosial yang kian keropos ini?
Tontonan
seksual "tanpa refine" ke ruang publik, ditimbang-timbang, menjadi
faktor utama mengapa prilaku seks menyimpang kian meluas. Disaat yang sama,
orientasi kurikulum pendidikan yang meminggirkan etika, akhlak (atitute) dalam
sistem pembelajaran, seakan mengamini, bahwa perilaku kekerasan seks yang
melibatkan anak usia remaja adalah kegagalan fatal sistem pendidikan.
Dengan
begitu, pemerintah secara sadar melakukan politik pembiaran, agar moralitas
(akhlak) tergusur dari institusi sekolah. Sekolah sebagai salah satu sarang
prilaku kekerasan seksual (berdasarkan informasi Komnas Anak), mengkonfirmasi
kita, bahwa demoralisasi itu merupakan buah politik pembiaran pemerintah
terhadap kurikulum pendidikan.
Terlepas
dari soal salah dan dosa siapa, mari kita lihat fenomena ini sebagai ketukan,
bahkan dobrakan kesadaran yang begitu hebat terhadap orang tua, guru, dan
segala lapisan sosial masyarakat termasuk pemerintah.
Persoalan
kekerasan seksual yang korbanya anak-anak, harus dilihat sebagai darurat
sosial, dengan menjadikan sistem moral sebagai langka penting eduksi sosial
yang lebih preventif. Termasuk undang-undang yang mengatur secara ketat soal
permisifitas seksual di mass media. Demikian pun sistem kurikulum pendidikan
mengintegrasikan persoalan akhlak; moralitas sebagai bentuk preventif menangkal
gejolak runtuhnya nilai-nilai sosial etik. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar