Beberapa kali saya pernah test case dengan tulisan yang berbeda. Tentu mengkritik Jokowi.
Saya dibully secara massal. Bukan menyampaikan argument, tapi malah mengatai, mengumpat
dan kata-kata hinaan sejenisnya. Begitulah. Namun tak cuma saya, user-user
Kompasiana lainnya yang mengkritik Jokowi pun ditumpah soal yang sama.
Orang-orangnya juga sama; berikut corak diskusinya pun setali tiga uang.
Tembakan kata-kata yang sering digunakan adalah “Panasbunk (pasukan nasi
bungkus).” Belakangan masif kata-kata itu disasarkan pada tim sosial media
Jokowi. Senjata makan tuan
Namun disaat yang sama, kecenderungan publik men-searching dengan keyword Jokowi bohong, trendnya terus juga terkerek hingga Juni
2014. Kecenderungan google search engine
menggunakan keyword “Jokowi Bohong” = 73 sercing.
Trend pencarian Jokowi Bohong terus menanjak berdasarkan penelusuran google
trends terkini.
Kesimpulan saya, pelabelan kata-kata “nabi” pada Jokowi,
tak lepas dari “pengaruh” kultur kejawen
(masyarakat Jawa) yang acap kali mensakralkan objek. Maka tak heran,
sakralisasi terhadap sosok Jokowi tanpa kritik pun bagian dari krisis
rasionalitas kefiguran dalam seleksi kepemimpinan nasional. Sementara, pengguna
keyword “Jokowi bohong” dalam searching google
adalah mereka yang masih kritis; atau yang masih melihat Jokowi sebagai sosok profane yang perlu dikupas
orisinalitasnya. Dan ternyata? Palsu !
Pilihan memuntahkan kerisauan pada Jokowi di sosial
media, semua itu karena tak ada ruang di media mainstream. Karena media
nasional sejak Jokowi dibumbuhi mobil SMK bodong, sudah terlanjur mewakafkan
diri untuk pencitraan Jokowi. Media mainstream bahkan lupa meletakan Jokowi
sebagai “objek kritis” yang kapan saja bisa diulik dan dikembalikan pada
tempatnya semula.
Dulu kita sepakat, Jokowi sosok datang dan mampu
memberikan warna bagi kepemimpinan alternatif, ketika rakyat semakin merasa
jauh dari jarak dan tembok sosial yang dibangun pemimpin di negeri ini.
Saya membayangkan, di Pilgub DKI 2012, betapa ledak emosi
dan eouforia pada Jokowi itu menghinggapi klimaksnya. Kehadiran Jokowi sebagai
tokoh protagonist; sekaligus antithesis terhadap Fauzi Bowo yang nampak culas
dan tak hangat dengan warga.
Jokowi datang ke Jakarta menancap harapan; ketika semua
orang mulai menganggap, “siapapun yang mimpin Jakarta tetap sama saja.” Bahkan harapan pada Jokowi itu meluber di
pilgub 2012; dan tak mampu dikendalikan lawan-lawannya. Hingga akhirnya ia
(Jokowi) memilih hengkang dari amanah demi ambisi jauh lebih besar; capres RI
2014.
Tentu berjubel harapan yang ditenteng Jokowi itu lepas.
Warga yang tadinya punya harapan terkikis oleh hulu_ledak ambisi kekuasaan yang
mengganas. Jokowi tak mampu, bahkan terpaksa mengelak dengan sejumlah alibi nan
getas. Tak disangka-sangka, Jokowi secepat itu membelakangi janjinya. Janji
Gubernur DKI.
Di tengah euphoria itu, ingatan saya masih bertenaga dan
merekamnya persis, atas pernyataan-pernyatan langsung Jokowi, bahwa ia akan
jadi Gubernur DKI lima tahun. Bahkan dengan sesumbar Jokowi mengakatan “Saya
Gubernur DKI lima tahun, jika ada yang mengatakan saya mau capres, itu bohong
dan isu; tidak benar !” Begitu lugasnya Jokowi meyakinkan rakyat Jakarta. Tapi
sekarang? Pernyataan itu kemudian
diperkuat mass media, dan “abdi dalem”
tim sosial media yang siang malam bekerja menangkal isu dan serangan
lawan.
Di belakang semua kegagahan image Jokowi itu, ada peran
sekelompok orang yang mengemas Jokowi dengan segala pembelaan. Intinya Jokowi
tanpa dosa tanpa salah. Merekalah tim Jasmev alias Jokowi Ahok Social Media Volunteer. Jasmev adalah detergen image politik Jokowi-Ahok yang
kemudian di-recycle menjadi Jokowi Advance Social Media
Volunteers (Jasmev) pada Pilpres 2014.
Untuk melacak anggota
Jasmev tidaklah muda. Mayoritas mereka menggunakan akun palsu. Namun ciri khas
menanggapi kritikan terhadap Jokowi bisa diduga. Menggunakan kata-kata kasar,
tanpa reaosing yang kuat. Dan itu
dilakukan secara runtun dan massal.
Disinilah kemudian saya
berfikir; Sakralisasi terhadap sosok, adalah
"gejala" kepunahan akal sehat, dalam seleksi kepemimpinan Nasional.
Maka saya tak heran, kenapa orang begitu mensakralkan Jokowi, manusia SUCI,
tanpa SALAH, tanpa DOSA. Maka saya dengan segala rasionalitas yang datar
ini...masih menimbang JOKOWI sebagi sosok yang masih perlu dikuliti ! Merdeka !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar