Saya dilahirkan dari keluarga
sederhana. di Baranusa tempat saya dididik dan dibesarkan. Sebuah desa yang
terletak di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.Ayah saya seorang guru Madrasah. Untuk menghidupkan keluarga, rasanya tidak cukup jika hanya mengandalkan
gaji seorang guru golongan rendah.
Agar asap dapur kami tetap
ngepul, ayah memiliki pekerjaan tambahan, yakni berladang dengan menanam padi,
jagung dan ubi-ubian.Itu pun dilakukannya setahun sekali. Karena berladang di
daerah kami hanya mengandalkan musim hujan disekitar bulan November sampai
februari tahun berikutnya.
Karena serba terbatas itulah,
Ibu saya pun tidak tinggal diam. Seperti Ibu-Ibu Baranusa pada umumnya, Ibu
saya berdagang keliling untuk menambah penghasilan keluarga kami.
Masih terngiang diingatan
saya, disetiap hari Selasa dan Sabtu, saya membantu ibu mendorong gerobak yang
di dalamnya ada bakul yang berisi sembako yang akan dijual ke pasar. Selain
kedua hari tadi, Ibu sering berdagang ke pulau sebelah, masyarakat Baranusa
menyebutnya dengan Wu De’ing atau pasar hari senin.
Dengan menggunakan perahu kayu (sampan), setiap hari senin Ibu mendayung sampan sendirian ke Wu De’ing, dan kembali dari sana sekitar
pukul 12 an siang. Kalau libur sekolah setelah ulangan
catur wulan 1,2 dan 3, saya sering membantu Ibu ke
pasar. Karena ketiga kakak saya sudah dirantaukan ayah ke Pasantren di Jawa
Barat, ketika mereka masih duduk di bangku MI dan MTs.
Meski dengan kehidupan yang sederhana, ayah dan ibu termasuk orang tua yang taat beragama. Ibu sering
tidak memberi makan, kalau sepulang sekolah saya belum melaksanakan solat
dzuhur. Bahkan ayah pun terkadang bertindak keras, bila salah satu diantara
kami empat bersaudara tidak mengaji ke Langgar (surau) atau tidak sholat
berjamaah di masjid.
Ayah sering melaut
Semasa kecil, saya sudah
terbiasa dengan kehidupan laut. Kegemaran saya pada kepesonaan teluk Baranusa
yang penuh dengan berbagai spesies laut ini, karena kedua paman saya (saudara
laki-laki dari Ibu) bermatapencaharian sebagai nelayan.
Saya masih ingat, ketika
diusia 10 tahun, paman yang paling bungsu diantara empat saudara ibu, sering
mengajak saya ke laut. Saya diajar banyak hal dari paman tentang cara atau
teknik memancing yang benar.
Saya merasakan fantasi sebagai
seorang nelayan cilik, ketika pertama kali berhasil membawa beberapa ekor ikan kakap merah
pulang ke rumah.
Ikan-ikan tersebut merupakan
hasil pancingan tangan saya sendiri. Ikan kakap merah atau dikampungku
disebut ikang karappung adalah salah satu ikan kegemaran
keluarga kami. Karena rasanya gurih, dan apabila dimasak kuahnya memerah,
akibat pengaruh kulit ikan yang telah direbus matang dan bercampur warna kuah
dan bumbu kampung yang sangat khas itu..
Selain paman, ayah pun sering melaut. Meski mengajar di Madrasah Ibtidaiyah sambil berladang, ayah selalu
mencuri waktu untuk menaruh bubuh di pinggir Pulau Kura, atau pulau Katoru.
Sebuah pulau yang berhadapan dengan Baranusa. Kira-kira butuh waktu 15 menit
untuk ke sana.
Disetiap menaruh dan mengambil
bubuh, ayah selalu membawa saya dan k’ Mat. Tapi ketika itu saya belum terlalu
lincah berenang, sehingga ayah dan k’ Mat menyuruh saya berdiam diri di perahu,
untuk menarik jangkar atau melepaskannya kembali bila ada tempat yang dirasakan
cocok untuk menaruh bubuh.
Setiap kali kami menarik
kembali bubuh yang sudah disimpan selama dua hari, kami selalu mendapat ikan
yang lumayan banyak. Ada Ikan kabakku, ikan kakap merah, gurita dan
belut serta jenis ikan lainnya.
Saya selalu memilih ikan
kesukaan, namanya ikan Kabakku. Bila ikan jenis ini masuk ke lubuk
yang kami simpan, saya selalu memisahkannya di tempat tersendiri.
Ikan Kabakku
teramat lezat rasanya. Saya paling suka kalau ikan ini
dibakar dan leleh minyaknya menetes ke tungku api dengan aroma yang menusuk,
dan membuat perut terus terasa lapar.
Lebih lezat lagi bila
ikan Kabakku ini tersentuh oleh masakan atau menu khas Ibuku.
Ibu sering merebus ikan ini dengan asam muda dan daun kemangi. Ikan ini memang
memiliki cita rasa yang khas. Bila dimasak dengan periuk yang terbuat dari
tanah liat buatan Ampera (salah satu nama desa di Alor yang kebanyakan
masyarakatnya berprofesi sebagai pengrajin periuk tanah).
Rasanya nature,
bahkan terkadang sampai melumat-lumat jemari bekas kuah dan sisa-sisa ikan yang
masih menempel.
Biasanya ibu selalu
menyeragamkan menu kuah asam ikan Kabakku dengan nasi jagung.
Atau bahasa kampungku disebut wata bappe. Bahkan kalau Ibu memasak
menu ini, saya paling suka menggaruk kerak nasi yang sudah disiram dengan kuah
ikan Kabakku, karena kegurihan kuah ikanKabakku dan
renyahnya kerak nasi jagung.
“Terkadang
Ibu marah-marah, karena gesekan sendok dan periuk kedengaran sampai ke jalan
depan rumah kami.”
Selain bersama ayah, saya pun
sering ikut melaut bersama Bapaknya Lajamudin Melayu. Tetangga samping rumah
yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Ibu dan ayah saya.
Biasanya kami membuang jala,
atau memasang jaring untuk menunggu ikan, bila air laut surut. Dalam kepala
saya masih sangat ingat, kalau Bapaknya Laja suka memaki kami berdua, bila
dayungnya lambat. Atau dayungan kami menghantam dinding perahu dan berisik,
mengakibatkan ikan-ikan yang kami kejar berpencar.
Tapi setelah pulang dan
membawa banyak ikan, biasanya kami banyak tertawa selama di laut hingga tiba di
rumah.
Dimasa-masa kecil, saya banyak
melewati waktu bersama Laja, mulai dari mengikuti Bapaknya melaut, hingga
menjual ikan tembang hasil tangkapan ke ujung kampung dan ujung lembah.
Kalau ikannya laku dan terjual
habis, kami diberi uang Rp.100 oleh bapaknya Laja. Dimasa itu, sekitar tahun 90
an, hanya memegang uang Rp.100 hati kami sudah girang bukan kepalang.
Paling tidak, dengan uang itu,
kami bisa membeli kue nok-nok. Kue berbentuk bulat yang terbuat
dari ubi kayu yang disiram dengan kelapa parut setelah dikukus, dan dalamnya
dikasih gulah merah.
Dalam satu tusukan kue nok-nok
berisi lima buah dengan harga Rp 25 perak. Sisah dari uang itu kami belikan
karet gelang atau kalereng untuk main bersama teman-teman lainnya di bawa pohon
asam, yang letaknya disamping rumah Laja.
Saat-saat yang paling
menggembirakan adalah setelah usai ulangan caturwulan tiga (3). Untuk mengisi
waktu libur selama satu bulan ini, kami membuat batu-bata bersama teman-teman
sekompleks.
Paginya mencangkul tanah,
sekaligus merendam tanah yang sudah dihaluskan hingga sore. Esok harinya baru
dicetak. Sesudah tanahnya dipastikan benar-benar lunak, setelah direndam selama
satu hari.
Selama satu bulan penuh itu,
kami lewati bersama teman-teman di kebun. Diwaktu-waktu senggang, kami sering
bermain lempar-lemparan dengan lumpur bata. Atau lari sambil saling mendorong
merebut kelapa kering yang jatuh di sekitar tempat kami membuat batu-bata.
Makan hanya dengan ubi kayu,
dan minum air kelapa. Pergi pagi dan pulang disore hari menjelang malam. Jalan
bergerombolan sambil menenteng daun singkong untuk sayuran Ibu di rumah. Atau
membawa kelapa muda untuk mereka.
Saya pernah merasakan
kegirangan yang teramat. Setelah Batu-bata kami dibakar, saya berhasil
mengumpulkan batu bata berjumlah 1000 potong meski ada bebera potong yang
rusak. Menjelang beberapa hari setelah selesai mengumpulkan hasil pembakaran
tersebut. Batu bata saya ditawri orang dengan harga Rp. 250 per buah. Saya pun
berhasil mengantongi uang sebesar Rp. 250. 000 setelah batu-bata saya di beli
orang yang masih saya kenal dan sekampung itu.
Meski sekarang berada di
rantau, saya masih mengenangnya. Masa-masa yang penuh dengan kemardekaan,
terkadang saya sering berlama-lama di WC, sambil menghabiskan satu batang
kretek Sampoerna, hanya sekedar mengenang masa-masa yang penuh dengan keringat
yang ndress itu. “Meskipun sekarang sudah menetap di Jakarta, saya
benar-benar bangga sebagai anak yang dilahirkan di daerah yang kaya akan kenangan sebagai anak desa []